Lebih lanjut, Yusiran berbagi pengalamannya mengikuti kompetisi Schneider Go Green.
“Kami merasa bangga menjadi bagian dari komunitas yang ingin memberikan manfaat untuk masyarakat Indonesia. Kami juga semakin berbangga hati karena berkesempatan mendapatkan ilmu dari mentor dan fasilitator,” jelasnya.
Meskipun begitu, tim SmartFOCS juga menghadapi tantangan dan hambatan yang tidak mudah. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah pada proses implementasi.
“Ada tahapan technology selection pada proses tersebut. Itu adalah pemilihan komponen yang tepat untuk produk. Terkadang, komponen yang kami butuhkan tidak ada di Indonesia. Jadi, kami harus mengimpornya,” katanya kepada Kompas.com.
Kemudian, ada pula tahapan site selection. Pada tahapan ini, mereka tidak bisa sembarangan memilih lokasi untuk uji coba alat. Selain itu, tim SmartFOCS juga perlu membuat guidebook atau video tutorial untuk masyarakat sekitar agar mereka dapat mengoperasikan alat secara mandiri.
“Meskipun demikian, kami melihat masalah tersebut bisa menjadi celah untuk kami bisa terus berinovasi. Salah satunya dengan memproduksi beberapa komponen di dalam negeri pada masa mendatang,” kata Yusiran.
Pada gelaran tahun ini, Indonesia Schneider Go Green berkesempatan menghadirkan dewan juri dari berbagai bidang, di antaranya Cluster President Schneider Electric Indonesia and Timor Leste Roberto Rossi, Plant Director Schneider Electric Indonesia Joko Sutopo, dan Sondang sendiri.
Kemudian, Schneider Electric juga mengundang dewan juri dari pihak eksternal, yaitu Direktur Bioenergi di Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andriah Feby Misna dan CCO Ecoxzytem Andreas Pandu Wirawan.
Baca juga: Dampak Perubahan Iklim Semakin Nyata, Schneider Electric Serukan Percepatan Dekarbonisasi
Pada kesempatan terpisah, Andriah mengatakan bahwa upaya transisi energi dan dekarbonisasi saat ini menjadi tren global. Akibatnya, permintaan pasar untuk SDM di bidang aneka EBT diproyeksikan akan meningkat.
“Estimasi kami, dengan rencana emisi nol bersih Indonesia pada 2060, dibutuhkan 559.000 tenaga kerja untuk operator pembangkit listrik tenaga (PLT) EBT,” ujar Andriah.
Sementara itu, dibutuhkan juga 8,96 juta tenaga kerja di bidang konstruksi dan instalasi PLT EBT pada rentang 2030-2060 atau rata-rata menyerap 298.000 tenaga kerja per tahun.
“Kami sangat mengapresiasi acara Schneider Go Green 2022 sebagai media untuk menuangkan ide cemerlang, inovasi, dan kreativitas para generasi muda dalam mendorong pengembangan EBT. Mereka juga diajak untuk mengasah empati dan analytic thinking untuk melihat berbagai permasalahan yang ada di Indonesia,” katanya.
Baca juga: Schneider Electric Beberkan 4 Faktor Wujudkan Transformasi Digital yang Tangguh dan Berkelanjutan
Selain itu, Sondang juga mengatakan bahwa teknologi digital untuk mendukung terwujudnya energi berkelanjutan telah berkembang secara pesat.
Oleh karena itu, generasi muda sebagai penerus kepemimpinan harus selalu lincah (agile) dan adaptif terhadap kemajuan tersebut.
“Kreativitas dalam menciptakan ide-ide yang inovatif juga sangat penting (diasah) agar potensi teknologi yang ada dapat dimaksimalkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan masyarakat lebih baik,” ujar Sondang.
Generasi muda, lanjutnya, juga perlu memiliki kemampuan soft skill, seperti problem solving, team worker, self-management, serta kemampuan berkomunikasi untuk menjadi talenta muda masa depan yang berdaya saing, kreatif dan inovatif.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.