Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Stok Pangan Harus Dicukupi dengan Produksi, Bukan Impor!

Kompas.com - 15/04/2022, 08:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

STOK pangan adalah isu yang selalu mencuat, terutama menjelang hari raya keagamaan seperti Idul Fitri. Stok pangan atau ketersediaan pangan merupakan bagian dari ketahanan pangan nasional.

UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang menyempurnakan Undang-Unang (UU) Nomor 7 Tahun 1996, mengartikan ‘ketahanan pangan’ sebagai “kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”.

Baca juga: Menteri Pertanian Klaim Stok Pangan Jelang Ramadhan Aman, Termasuk Minyak Goreng

UU Pangan bukan hanya berbicara tentang ketahanan pangan tetapi juga memperjelas dan memperkuat pencapaian ketahanan pangan dengan mewujudkan kedaulatan pangan (food soveregnity) dengan kemandirian pangan (food resilience) serta keamanan pangan (food safety).

Definisi tersebut sejalan dengan definisi Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau FAO dalam Deklarasi Roma tentang Ketahanan Pangan Dunia, 1996, yang disempurnakan dalam dokumennya yang terbit pada 2001.

Menurut FAO, ketahanan pangan yang komprehensif mencakupi tiga aspek yaitu, pertama, aspek ketersediaan (availability); kedua, keterjangkauan (accessibility) baik secara fisik maupun ekonomi; dan ketiga, aspek stabilitas (stability), merujuk kemampuan meminimalkan kemungkinan terjadinya konsumsi pangan berada di bawah level kebutuhan standar pada musim-musim sulit (paceklik atau bencana alam).

Stok pangan

Stok atau cadangan pangan adalah salah satu sumber pasokan untuk mengisi kesenjangan antara produksi dan kebutuhan dalam negeri atau daerah. Stabilitas pasokan pangan dapat dijaga dengan pengelolaan cadangan yang tepat.

Stok pangan terdiri atas cadangan pemerintah dan cadangan masyarakat; cadangan pangan masyarakat meliputi rumah tangga, pedagang, dan industri pengolahan.

Pada prinsipnya, pemerintah melalui Kementerian Pertanian menyiasati masalah ketersediaan dan kestabilan harga pangan, melalui agenda jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

Agenda jangka pendek berkaitan dengan stok pangan adalah memastikan ketersediaan pangan selama bulan Ramadhan dan menyambut hari raya Idul Fitri 1443 Hijriah. Dalam konteks itu, pemerintah memaparkan bahwa stok daging sapi selama bulan Ramadhan, aman. Sebab, telah tersedia 234.000 ton daging sapi lokal sementara kebutuhan tertinggi daging sapi di masyarakat hanya sampai 202.000 ton.

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo melihat produk pangan lokal di Surabaya, Jawa Timur yang nantinya akan diekspor ke berbagai negara, Kamis (4/11/2021).Dokumentasi Humas Kementerian Pertanian Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo melihat produk pangan lokal di Surabaya, Jawa Timur yang nantinya akan diekspor ke berbagai negara, Kamis (4/11/2021).
Stok beras hingga Mei 2022 beras surplus 8,7 juta ton, jagung surplus 3,2 juta ton, dan kedelai juga surplus.

Bawang merah, surplus 92.000 ton dan bawang putih surplus 104.900 ton. Cabai besar posisinya juga aman, karena surplus 27.900 ton. Sementara cabai rawit surplus 40.383 ton.

Selanjutnya, daging ayam ras surplus 357.700 ton, telur ayam ras surplus 98.500 ton, dan gula surplus 544.000 ton. Begitu pun dengan minyak goreng juga kondisinya surplus sekitar 663.493 ton.

Tak boleh lagi mengimpor bahan pangan

UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan bahwa apabila produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi karena panen yang tak optimal akibat gangguan iklim/cuaca, pemerintah dapat melakukan kegiatan impor bahan pangan.

Namun, sebagai bangsa besar kita harus bertekad untuk terus memperkuat ketahanan dan kedaulatan pangan serta meningkatkan kesejahteraan petani/nelayan. Dengan kata lain, kita harus bertekad untuk mencukupi stok pangan dalam negeri dengan meningkatkan produksi dalam negeri, bukan dengan mengimpor.

Strategi utama untuk meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan serta kesejahteraan petani/nelayan adalah menggejot produksi pangan lokal dan nasional.

Terkait ini, pemerintah pernah menjelaskan akan memberikan stimulus dan insentif untuk tetap menjaga kinerja di sektor pertanian dan perikanan, melalui Program Padat Karya Pertanian; Program Padat Karya Perikanan; Banpres Produktif UMKM Sektor Pertanian; Subsidi Bunga Mikro/Kredit Usaha Rakyat; dan Dukungan Pembiayaan Koperasi dengan Skema Dana Bergulir.

Pemerintah pun telah menyusun kebijakan dalam menjaga rantai ketahanan pangan nasional dengan cara, pertama, mengimplementasi UU Cipta Kerja yang terkait penyederhanaan, percepatan, kepastian dalam perizinan, serta persetujan ekspor/impor.

Kedua, mempercepat digitalisasi UMKM sebagai bagian bentuk realisasi dari dua agenda besar pemerintah saat ini, yaitu agenda Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan Transformasi Digital.

Baca juga: Tak Ingin RI Terus Impor Pangan, Buwas: Negara Agraris Kok Impor..

Ketiga, mengembangkan sinergi BUMN untuk distribusi hasil pertanian dari sentra produksi ke sentra konsumen, yaitu pengembangan sistem logistik pangan berbasis transportasi kereta api dalam bentuk distribusi bahan pangan ke wilayah timur.

Keempat, melakukan penguatan kerja sama antar-daerah khususnya dalam pemenuhan pangan. Kelima, Pembentukan holding BUMN pangan dalam penguatan Ekosistem Pangan Nasional.

Tiga tantangan

Tentu saja, kita semua perlu mendukung stategi pemerintah tersebut. Namun, kita perlu juga menyadari bahwa upaya meningkatkan volume dan kualitas produksi pangan tak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab, peningkatan produksi pangan ditentukan oleh banyak faktor.

Belajar dari best practice di negara-negara maju, kita dapat mengidentifikasi ada tiga masalah utama yang perlu mendapat perhatian serius. Pertama, adalah faktor sumber daya manusia (SDM) atau petani. Sudah menjadi rahasia umum, penentu kesuksesan peningkatan produksi pangan adalah petani.

John Mclnemey (2020) mengatakan, dalam beberapa dekade terakhir para petani Inggris misalnya, sedang mentransformasikan dirinya menjadi petani yang menemukan cara baru untuk berproduksi secara berkelanjutan, yaitu suatu cara berproduksi yang didorong oleh apa yang diinginkan konsumen akhir, bukan berdasarkan dan asumsi sederhana tentang kebutuhan untuk memperluas output.

Bagamana di Indonesia? Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah petani per 2019 mencapai 33,4 juta orang.

Dari jumlah tersebut, petani muda di Indonesia yang berusia 20-39 tahun hanya 8 persen atau setara dengan 2,7 juta orang.

Sekitar 30,4 juta orang atau 91 persen berusia di atas 40 tahun, dengan mayoritas usia mendekati 50-60 tahun.

BPS 2021 menyebutkan bahwa hal yang menyebabkan produktifitas pertanian Indonesia belum optimal adalah karena mayoritas didominasi oleh orang-orang yang berpendidikan rendah dan berusia tua.

Faktor penentu kedua adalah penerapan teknologi. Di negara maju, selain sudah terbiasa menggunakan teknologi pertanian moderen, para petaninya sudah melakukan transformasi digital pertanian yang melibatkan adopsi teknologi digital seperti konektivitas seluler/internet, kecerdasan buatan (AI), pembelajaran mesin (ML), komputasi awan, Internet of Things (IoT), dan blockchain/Distributed Ledger Technology (DLT) untuk mengaktifkan model bisnis baru yang dapat membantu meningkatkan hasil pertanian, efisiensi, pendapatan, dan profitabilitas.

Sementara di Indonesia, sebagian besar petani masih berkutat dengan peralatan tradisional, cenderung menerapkan teknologi yang tak ramah lingkungan (pupuk kimia), termasuk mengawetkan bahan pangan dengan cara pintas menggunakan bahan pengawet kimiawi. Hanya segelintir petani milenial yang mulai bertransformasi ke digitalisasi pertanian.

Ketiga, kondisi lahan pertanian yang kian berkurang baik luas maupun kualitasnya. BPS (2021) melaporkan potensi luas lahan panen padi misalnya merosot 0,14 juta hektare menjadi sebesar 10,52 juta hektare jika dibandingkan dengan tahun 2020 yang sempat mencapai 10,66 juta hektare.

Selain luasnya makin terbatas, lahan pertanian Indonesia mengalami degradasi atau proses penurunan produktivitas lahan yang sifatnya sementara maupun tetap, dicirikan dengan penurunan sifat fisik, kimia dan biologi.

Kecenderungan degradasi lahan akan semakin meningkat, sebagai dampak pertumbuhan penduduk.

BPS (2019) menyebutkan luas lahan kritis mencapa 14,0 juta hektater, terdiri 9, 45 juta lahan kritis, dan 4,55 juta lahan sangat kritis.

Harus jadi prioritas pembangunan

Bertolak dari pembahasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa meningkatkan produksi pangan dalam rangka menjamin ketahanan dan stok pangan adalah prioritas utama pembangunan nasional.

Memang, salah satu pilihan untuk meningkatkan produksi pangan adalah memperluas lahan pertanian. Namun, dalam kondisi krisis iklim global sekarang ini, cara ini tak dapat diandalkan lagi.

Studi Center for Indonesian Policy Studies (2021) bahkan menyatakan perluasan lahan pertanian tidak menjamin ketahanan pangan nasional. Sebab, ekspansi lahan justru berisiko merusak lingkungan dan memperburuk krisis iklim.

Peluang alternatif yang dapat diambil adalah meningkatkan kualitas SDM (petani) untuk segera melakukan tranformasi digitalisasi pertanian.

Dalam konteks itu, kita sepatutnya mengapresiasi dan mendukung dengan sekuat tenaga komitmen pemerintahan Joko Widodo untuk melakukan transformasi pertanian menuju era digital.

Langkah awal yang sudah ditempuh untuk mewujudkan petani yang melek teknologi adalah menjalankan Program Petani Milennial.

Yang makin urgen dilakukan sekarang adalah membuat program tersebut menjadi lebih masif, sehingga menjangkau kaum milennial dalam jumlah besar. Sebab, itulah jalan yang terbaik untuk memperkuat kedaulatan dan ketahanan serta terjaminnya stok pangan nasional. Juga, demi terciptanya petani/nelayan dan manusia Indonesia yang makmur, adil dan sejahtera.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com