Keempat, ketiadaan mentor. Tidak jarang peserta magang dibiarkan “jalan sendiri” tanpa ada kejelasan siapa yang membimbing di perusahaan.
Atau disediakan mentor tetapi tidak berfungsi optimal. Magang menjadi bersifat normatif tanpa diikuti proses permagangan yang benar.
Kelima, tidak ada perjanjian tertulis. Ini yang paling memprihatinkan jika ada peserta magang yang bekerja tanpa ada perjanjian tertulis.
Hak dan kewajiban yang dijalankan tidak jelas. Yang paling dirugikan adalah peserta magang karena hak-haknya tidak diperhatikan.
Ini baru lima dari sekian banyak keluhan yang muncul dari mahasiswa peserta magang.
Beberapa di antaranya menyatakan kapok, bahkan ada yang trauma dengan bidang pekerjaan yang akan ditekuni setelah lulus, begitu tahu yang harus dihadapi di dunia kerja.
Tanpa harus berpikiran negatif dengan mitra perusahaan, tampaknya memang banyak yang harus dibenahi dalam program magang ini.
Disadari bersama, benefit yang diberikan melebihi masalah yang dikeluhkan mahasiswa peserta magang.
Makna proses permagangan tampaknya harus lebih dipahami pihak perusahaan dan lembaga pendidikan tinggi.
Jangan mengarah pada formalitas apalagi menjadi ajang eksploitasi tenaga muda mahasiswa. Satu demi satu masalah harus diberikan solusi jitu.
Barangkali saat ini adalah momen yang tepat untuk meluruskan magang ke jalan yang benar.
*Frangky Selamat, Dosen Tetap Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Tarumanagara, Jakarta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.