BARANGKALI pengalaman saya pribadi, pada bulan Oktober tahun lalu, menguatkan keyakinan saya bahwa pemerintah Indonesia perlu merestrategisasi secara masif terkait tata kelola PT Garuda Indonesia. Yakni, menyelesaikan persoalan hingga ke akar-akarnya.
Pada saat itu, saya akan memulai perjalanan ke London, Inggris, untuk kepentingan melanjutkan studi.
Saya memutuskan untuk terbang bersama Garuda. Dengan harap agar biaya penerbangan tersebut nantinya akan menjadi deviden negara.
Jika boleh jujur, keputusan ini agak tidak masuk akal sebenarnya, mengingat selisih harga tiket dari Garuda dengan maskapai internasional lainnya yang lebih mahal dua hingga tiga kali lipat.
Selain itu, jika maskapai lain untuk rute penerbangan dari Jakarta-London hampir setiap hari, namun Garuda hanya menawarkan satu minggu sekali setiap hari Kamis. Itu pun hanya sampai Amsterdam.
Dan ironisnya, ketika di dalam pesawat, banyak sekali kursi yang tidak terisi.
Situasi ini nampak jelas sebenarnya: tidak perlu menggunakan kalkulasi ekonomi untuk menjustifikasi bahwa penerbangan internasional Garuda yang saat itu saya tumpangi sudah semestinya merugi. Tidak mungkin tidak.
Namun pertanyaannya, apa yang sebenarnya menyebabkan situsi kritis dihadapi oleh Garuda?
Situasi yang dihadapi Garuda itu ibarat serangan stroke yang boleh jadi pada level yang parah. Namun, dengan ketekunan, kesabaran dan komitmen tinggi, upaya penyembuhan tetap bisa dilaksanakan.
Lantas bagaimana kita melihat situasi ini? Membiarkannya untuk benar-benar terpuruk hingga bangkrut ataukah melakukan upaya perombakan secara menyeluruh untuk mempertahankan kebanggaan maskapai yang dimiliki Indonesia?
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.