Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gatot Rahardjo
Pengamat Penerbangan

Pengamat penerbangan dan Analis independen bisnis penerbangan nasional

Nasib Garuda Indonesia dan Kunjungan Presiden Jokowi ke AS

Kompas.com - 14/05/2022, 13:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KUNJUNGAN Presiden Joko Widodo (Jokowi) beserta rombongan ke Amerika Serikat (AS) yang saat ini sedang berlangsung, banyak mendapat sorotan, baik di media massa maupun media sosial. Berbagai segi yang dibahas baik oleh kalangan ahli maupun masyarakat biasa.

Bukannya latah, tapi izinkan saya membahasnya hanya dari segi penerbangan saja, terutama terkait maskapai Garuda Indonesia yang pesawatnya dipakai rombongan presiden.

Seperti diketahui, rombongan Presiden Jokowi pada 10 Mei 2022 berangkat dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, menuju Washington DC, AS untuk menghadiri KTT Asean – AS dengan menggunakan pesawat wide body Boeing B777-300ER Garuda Indonesia. Pesawat berkapasitas total 393 kursi untuk kelas eksekutif dan ekonomi ini disulap menjadi pesawat Very Very Important Person (VVIP) kepresidenan untuk mengangkut 62 orang rombongan presiden.

Baca juga: Alasan Jokowi Carter Garuda untuk Kunjungan ke AS, Tak Pakai Pesawat Kepresidenan

Pesawat B777-300ER selain badannya yang besar, juga mempunyai kemampuan jelajah yang jauhnya mencapai 14 ribu km. Dengan demikian rombongan presiden dapat terbang langsung dari Jakarta ke Washington DC dengan lama terbang sekitar 18 jam.

Bandingkan jika menggunakan pesawat kepresidenan saat ini yang berjenis narrow body B737-800 ER dengan kemampuan jelajah hanya 7,4 ribu kilometer, tentu pesawat harus transit dulu di suatu tempat. Dan karena pesawat kepresidenan, untuk transit tentu saja memerlukan protokoler yang rumit, tidak seperti pesawat komersial biasa.

Bayangkan jika tak ada Garuda Indonesia

Namun di balik hitung-hitungan teknis itu, kepercayaan Presiden Jokowi menggunakan pesawat Garuda dapat dibaca bahwa Garuda Indonesia memang masih diperlukan oleh Indonesia. Apalagi ternyata pesawat Garuda ini juga dipakai oleh rombongan presiden saat menghadiri KTT G20 di Roma Italia pada Oktober 2021 dan perjalanan-perjalanan kenegaraan yang lain.

Bayangkan jika tidak ada Garuda Indonesia, rombongan presiden harus menyewa pesawat dari maskapai swasta. Di Indonesia, pesawat setara yang dimiliki oleh maskapai swasta Indonesia adalah jenis Airbus A330Neo Lion Air dengan konfigurasinya lebih banyak kelas ekonomi dan hanya satu pesawat yang memiliki kelas bisnis.

Jika tidak menyewa dari maskapai swasta nasional, Sekretariat Negara harus menyewa dari maskapai asing. Biaya sewa pesawat jenis B777-300 per jam, menurut situs www.paramountbusinessjets.com rata-rata adalah 25.900 dollar AS. Jika dikalikan 6 hari, jumlahnya 3.729.600 USD atau sekitar Rp 55 miliar.

Namun harus diingat, itu harga sewa untuk private jet biasa, bukan untuk VVIP kepresidenan. Karena akan lebih banyak protokoler dan hal lain-lain yang harus dipersiapkan sehingga ada kemungkinan harga sewanya lebih mahal. Dan uang sebesar itu akan terserap oleh maskapai asing.

Itulah salah satu fungsi Garuda Indonesia, yaitu bisa dipakai sebagai “Air Force One” Indonesia kapan saja. Dulu sebelum pesawat kepresidenan yang saat ini ada, Presiden Indonesia kalau melakukan kunjungan baik di dalam dan terutama ke luar negeri selalu menggunakan pesawat Garuda Indonesia. Misalnya Presiden Suharto yang hampir selalu bangga menggunakan pesawat DC-10 Garuda Indonesia untuk kunjungan ke berbagai negara.

Baca juga: Spesifikasi Pesawat Kepresidenan yang Ganti Cat Merah Putih, Apa Kecanggihannya?

Garuda juga memiliki tim kru yang memang dikhususkan untuk melayani penerbangan kepresidenan ini, mulai dari teknisi, awak kabin, pilot hingga protokoler. Pesawat-pesawatnya juga disiapkan untuk dapat diubah menjadi pesawat kepresidenan sehingga jika sewaktu-waktu diperlukan, langsung dapat dipergunakan.

Kembali ke B777 Garuda, seharusnya pesawat ini masuk dalam program restrukturisasi Garuda karena dalam operasionalnya memang tidak terlalu menguntungkan. Dari 10 pesawat sejenis yang dimiliki, pada Februari 2022 satu pesawat sudah dikembalikan ke lessor. Seharusnya satu pesawat juga akan dikembalikan pada Maret, tetapi sepertinya ditunda.

Presiden Jokowi carter pesawat Garuda Indonesia untuk kunjungan kerja KTT di Amerika Serikat, Selasa (10/5/2022).Dok. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Presiden Jokowi carter pesawat Garuda Indonesia untuk kunjungan kerja KTT di Amerika Serikat, Selasa (10/5/2022).
Garuda sebagai “Air Force One” Indonesia

Memang pengadaan pesawat di Garuda Indonesia tidak bisa semata-mata dikaitkan dengan bisnis. Hal ini karena ada tugas-tugas negara yang harus dilakukan oleh Garuda sebagai maskapai BUMN (Badan Usaha Milik Negeri), seperti misalnya untuk kunjungan presiden.

Tugas-tugas seperti itu seperti terlupakan saat kita membicarakan nasib Garuda saat ini. Dan Presiden Jokowi seperti menyadarkan kita bahwa ada tugas mulia yang diemban Garuda.

Namun sebagai maskapai komersial, Garuda juga harus melaksanakan prinsip-prinsip bisnis. Apalagi sesuai UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN, sebuah BUMN harus meraih keuntungan dan dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian negara.

Sebagaimana maskapai-maskapai lain di dunia, Garuda juga terdampak sangat parah oleh pandemi Covid-19 selama tahun 2020-2021. Jumlah penumpang berkurang lebih dari 50 persen sehingga pendapatannya pun menurun tajam. Apalagi sejak akhir tahun 2021 hingga sekarang, harga bahan bakar pesawat juga melonjak naik akibat krisis perang Rusia-Ukraina sehingga biaya operasional juga ikut naik tinggi.

Arus kas yang memburuk mengakibatkan Garuda susah merawat dan mengoperasikan pesawatnya serta membayar sewa ke lessor. Di kemudian hari juga mencuat indikasi kasus-kasus korupsi, terutama terkait pengadaan pesawat di masa lalu.

Semua itu memberatkan Garuda saat ini sehingga harus melakukan proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di pengadilan. Untungnya pada akhir April lalu, pemerintah dan DPR sudah menyetujui untuk membantu menyuntikkan dana pada Garuda Indonesia dengan syarat harus dapat menyelesaikan PKPU dengan baik.

Garuda juga harus menerapkan restrukturisasi perusahaan yang sudah disusunnya sehingga dapat beroperasi dengan efektif dan efisien dengan menerapkan good governance performance yang baik, yang artinya tidak ada ruang lagi buat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Tentu kita berharap yang terbaik untuk Garuda, sehingga dapat menjalankan tugasnya lagi sebagai BUMN maupun sebagai maskapai komersial. Kita masih membutuhkan Garuda Indonesia untuk menjalin konektivitas antar wilayah negara yang berupa kepulauan ini dan menjalankan tugas-tugas yang lain termasuk sebagai “Air Force One” Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com