Akhirnya Obama paham. Tapi Gedung Putih juga harus tegas dalam menghukum para banker dan spekulan tak bertanggung jawab di Wall Street, kata Obama. Tim menyepakati.
Kemudian Obama meminta Tim kembali lagi besoknya, sembari membawa rencana mitigasi yang jelas dan komprehensif.
Urusan persetujuan kongres dan tetek bengek politik, biar saya yang bereskan, kata Obama.
“Leave the politics to me,” katannya.
Keesokan harinya, Tim datang dengan ajuan tambahan dana 420 miliar dollar AS lagi (akhirnya menjadi 787 miliar dollar AS).
Tim dan Ben Bernanke, plus Larry (Lawrence) Summer, akan kembali memasang bantalan dana untuk Wall Street.
Bahkan bahasa sederhananya, mereka akan melanjutkan nasionalisasi bank-bank besar untuk sementara waktu.
Tak pelak, Amerika sontak semakin ribut. Joseph Stiglitz yang waktu itu masih di Bank Dunia, mengatakan bahwa Tim lebih memilih Wall Street ketimbang Main Street.
Sementara Larry Kudlow, yang kemudian menjadi orang kepercayaan Donald Trump di bidang ekonomi, menyerang Tim habis-habisan. Tapi IMF mendukung penuh rencana Timothy.
Sayangnya, rencana Timothy tak berjalan lancar. Pasar kredit masih lesu, pinjaman antarbank dan pasar obligasi belum juga mencair.
Perbankan, perusahaan private investment dan private equity, hedged fund, perusahaan asuransi, dan lembaga pensiun masih takut dan menahan selera transaksinya.
Risikonya, suku bunga di pasaran tetap tinggi. The Fed sebagai otoritas moneter federal Amerika sudah menggunakan instrumen suku bunga (FFR/Fed Fund Rate) dengan pendekatan "Zero Lower Bound" (ZLB), yakni neutral interest rate alias suku bunga nol.
Tapi pasar masih statis. Walhasil, liquiditas tak banyak yang mengalir ke sektor riil.
Pertanyaanya, bagaimana cara membuat pasar keuangan mengikuti acuan suku bunga baru, zero interest, sementara suku bunga yang berlaku masih sangat tinggi, sekitar rata-rata 3-4 persen.
Maka lahirlah instrumen moneter non konvensional yang kita kenal hari ini dengan Quantutative Easing.