Teknisnya, The Fed menyuntikkan likuiditas ke pasar keuangan dengan menawarkan pinjaman via pembelian aset keuangan dalam jumlah yang besar (Large Scale Asset Punchases/ LSAPs) kepada perbankan komersial dan lembaga keuangan lainya.
The Fed menggunakan QE di dalam Open Market Operation (OMO) dengan fokus penurunan suku bungan jangka panjang yang menyebabkan pelebaran neraca keuangan the Fed, dari 1 triliun dolar AS menjadi lebih dari 3 triliun dolar AS dan seterusnya (QE 1, QE 2, dan QE 3).
Tak semua pihak sepakat dengan QE. Salah satunya adalah Brendan Brown, misalnya, seorang Austrian economist (penganut aliran ekonomi Autria sebagai lawan dari aliran New Keynesian).
Dalam bukunya “A Global Monetary Plague. Asset Price Inflation and Federal Reserve Quantitative Easing (2015)”, ia menilai bahwa kebijakan moneter QE adalah Great Monetary Expreriment (GME) justru tak menjamin turunnya suku bunga jangka panjang asset keuangan, tapi berpeluang menjadi wabah keuangan global dan sangat berpotensi mendatangkan krisis yang sama di masa mendatang.
Tapi bagi Ben Bernanke, pun para pendukungnya, QE adalah jawaban yang tepat untuk memecah kebekuan pasar keuangan Amerika yang membuat ekonomi riil tersendat.
Bernanke mengatakan bahwa berkat QE, output ekonomi Amerika berbalik ke angka sebelum krisis dalam tiga tahun, pengganguran turun dari 10 persen jadi 7 persen di tahun 2013, sebelum masa jabatan Tim Geithner selesai.
Dan di tahun itu pula tetiba diujicobakan penghentian QE pertama kali atau kita kenal dengan istilah Taper Tantrum.
Tapi tak berjalan mulus, bahkan imbasnya jauh melebar ke luar Amerika. Pasar keuangan dunia terkejut, terutama emerging market seperti Indonesia, yang sejak QE bermula mulai ketiban capital inflow dan hot money.
Masalahnya, kebijakan moneter Amerika nyaris tidak bergantung kepada indikator ekonomi dunia, apalagi emerging market.
Prof Ronald I. McKinnon dalam bukunya tahun 2013, "Unloved Dollar Standard" mengatakan bahwa meskipun dollar beredar di seluruh dunia dan menjadi salah satu mata uang cadangan devisa utama hampir semua negara, tapi kebijakan moneter the Fed hanya bergantung kepada indikator ekonomi menoter domestik Amerika, utamanya inflasi dan angka pengangguran di Amerika.
Hal tersebut berkait dengan dual mandate yang diemban oleh The Fed, yakni stabilisasi harga dan full employment (di BI dikenal dengan ITF, inflation target framework), tak peduli di Indonesia atau di belahan dunia lain faktanya seperti apa.
Baru belakangan the Fed mencoba berkoordinasi dengan lembaga keuangan internasional lainya, terutama IMF, terkait mitigasi potensi imbas dari Taper Tantrum yang dilakukan The Fed di bulan-bulan mendatang.
Seperti dana cadangan yang diterima oleh Bank Indonesia dari IMF beberapa waktu lalu, untuk menebalkan cadangan devisa nasional di saat berhadapan dengan potensi capital outflow setelah Taper Tantrum jilid II nanti.
Tapi sebenarnya untuk saat ini, acamanan negatif Tapering tidak terlalu besar, mengingat (1) perekonomian Indonesia yang sudah mulai membukukan angka pertumbuhan yang positif, (2) cadangan devisa yang terbilang cukup memadai.
Kemudian (3) lahirnya regulasi-regulasi investasi baru yang sangat propasar, (4) ruang kenaikan suku bunga BI yang masih lebar untuk mengantisipasi potensi imbas yang lebih besar dari yang diasumsikan, dan (5) angka kenaikan suku bungan The Fed yang tidak terlalu drastis, sekitar 0,25 basis point.