JAKARTA, KOMPAS.com - Ketidakpastian global yang tengah terjadi membuat pemerintahan di berbagai negara menghadapi dilema dalam merumuskan kebijakan.
Sebagaimana diketahui, meskipun pandemi Covid-19 mulai mereda, lonjakan inflasi global akibat konflik Rusia dan Ukraina serta percepatan pengetatan kebijakan moneter global menjadi tantangan baru bagi perekonomian di berbagai negara.
Baca juga: Dilema Sri Mulyani, Pilih Tambah Anggaran Subsidi atau Buat Pertamina-PLN Berdarah-darah
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, fenomena tersebut membuat negara menghadapi pilihan kebijakan yang sulit, yakni antara mengendalikan inflasi dengan melalui pengetatan kebijakan moneter, atau menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional dengan mempertahankan kebijakan moneternya.
"Pergeseran risiko, tantangan inflasi, dan pengetatan moneter ini menimbulkan situasi pilihan kebijakan yang sangat sulit, yang dihadapi oleh semua negara di dunia," ujar Sri Mulyani, dalam gelaran Rapat Paripurna DPR, Jumat (20/5/2022).
Baca juga: Subsidi BBM dan Listrik Bengkak, Sri Mulyani Minta Anggaran Ditambah
Menurutnya, apabila negara memutuskan untuk mengendalikan inflasi melalui pengetatan kebijakan moneter, salah satunya melalui peningkatan suku bunga acuan, negara tersebut harus siap menghadapi potensi dampak negatif terhadap pertumbuhan.
Pasalnya, peningkatan suku bunga acuan akan menimbulkan dampak rembetan, seperti utamanya kenaikkan biaya atau cost of fund untuk pembiayaan di tengah fase pemulihan ekonomi yang masih berada pada fase awal.
"Jika tidak terkelola, risiko global ini akan menggiring kepada kondisi stagflasi, yaitu fenomena inflasi tinggi dan terjadinya resesi," kata dia.
Baca juga: Harga Minyak Dunia Bergejolak, Anggaran Subsidi Energi Bengkak Jadi Rp 443,6 Triliun
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.