Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beberapa Upaya Ini Bisa Dorong Penerapan EBT untuk Mencapai Net Zero Emission

Kompas.com - 24/05/2022, 15:20 WIB
Kiki Safitri,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pembangunan energi baru dan terbarukan (EBT) dinilai lamban lantaran adanya tarik-menarik antara kepentingan jangka pendek dan menengah dengan visi jangka panjang pengembangan energi bersih.

Pemerintah dinilai harus mengubah kebijakan dalam industri kelistrikan agar pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) bisa tercapai.

Menurut Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, peran pemerintah sangat penting untuk kepentingan jangka pendek dan menengah sebagai upaya memenuhi kebutuhan listrik saat ini dengan harga terjangkau dan tidak membebani Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN), bisa selaras dengan visi jangka panjang pengembangan energi bersih.

“Hal ini tentang tarik-menarik antara soal penyediaan listrik yang harganya terjangkau oleh masyarakat dan besaran subsidi dalam APBN dengan visi negara untuk menyediakan energi bersih berbasis EBT dan sekaligus mengurangi sebanyak-sebanyaknya pembangkit listrik berbasis fosil,” kata Komaidi melalui siaran pers, Selasa (24/5/2022).

Baca juga: Perkembangan Pembangkit EBT Bergantung Pada Teknologi Baterai

Seperti diketahui, sesuai Kesepakatan Paris, Indonesia sudah mencanangkan Karbon Netral (Net Zero Emission) pada 2060 atau lebih cepat.

Sebagai target antara, Indonesia akan mengejar bauran energi (energy mixed) di sektor kelistrikan sebesar 23 persen pada 2025, dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030 dengan usaha sendiri atau 41 persen jika ada bantuan internasional.

Sampai saat ini, Indonesia masih bertumpu pada pembangkit berbasis fosil, terutama PLTU yang berbahan bakar batu bara, untuk menjadi pembangkit beban puncak (base-load). Pembangkit jenis ini diperlukan untuk menjamin tersedianya pasokan listrik dalam jumlah besar dan kontinyu.

Baca juga: Belajar dari Semangat Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) Mesir

Dari berbagai jenis pembangkit EBT, pembangkit panas bumi menjadi salah satu yang bisa menggantikan peran PLTU sebagai pembangkit base-load. Komaidi menilai, harga jual listrik panas bumi masih mahal dan masa pembangunannya lama, yakni 7-10 tahun. Harga jual listrik panas bumi saat ini masih sekitar Rp 1.191 per kWh, sementara harga jual listrik batu bara hanya Rp 653,3 per kWh.

“Kondisi ini membuat kepentingan jangka pendek yang lebih mengemuka. Pemerintah tidak mudah menaikkan tarif listrik tapi juga tidak bisa membiarkan subsidi listrik di APBN membengkak,” ujar Komadi.

Baca juga: Jokowi ke PM Inggris soal EBT: Kalau Hanya Ngomong Saja, Saya Juga Bisa

Menurut Komaidi, kepentingan jangka pendek membuat pembangunan EBT tersendat-sendat, terutama pembangkit panas bumi. Hal ini terjadi karena PT PLN memegang monopsoni (pembeli tunggal).

“PLN tentu saja akan memilih PLTU karena harganya yang murah, sehingga BPP (biaya pokok penyediaan listrik) bisa lebih rendah. Kalau dengan panas bumi, siapa yang akan menutup selisihnya agar BPP PLN tetap affordable?” katanya.

Komaidi menjelaskan, dengan posisi seperti itu, pemerintah harus membuat kebijakan yang memihak pada pengembangan EBT. Apalagi, saat ini terjadi kelebihan pasokan listrik akibat penurunan ekonomi selama pandemi Covid-19.

“Ini soal visi jangka panjang. Pembangunan EBT seperti panas bumi bisa melintasi 1-3 periode pemerintahan. Karena itu, pemerintah harus konsisten dengan semua perencanaan dan target, meskipun pemerintahannya berganti-ganti. Tanpa konsistensi sulit menjaga target itu tercapai,” jelas dia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com