Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
David Firnando Silalahi
ASN Kementerian ESDM

Pelayan rakyat (ASN) di Kementerian ESDM, Kandidat Doktor pada School of Engineering, Australian National University, dengan topik penelitian "100% Renewable Energy Integration for Indonesia"

Menilik Kebijakan Larangan Ekspor Listrik

Kompas.com - 27/05/2022, 09:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Terdapat potensi energi air sebesar 95 GW, potensi panas bumi sebesar 24 GW, potensi bioenergi sebesar 57 GW, potensi arus laut sebesar 60 GW, potensi angin 155 GW, dan potensi surya 3.295 GW.

Penelitian kami di Australian National University mengungkapkan bahwa hanya dari energi surya saya, bisa dibangkitkan 190.000 Terrawatthour listrik per tahun. Setara dengan kebutuhan listrik dunia pada tahun 2020.

Jika potensi energi terbarukan Indonesia pas-pasan dan tidak cukup memasok kebutuhan domestik, maka sangat tepat untuk menutup keran ekspor.

Namun demikian, potensi yang sangat besar membuat Indonesia tidak akan kekurangan. Bahkan berlebih dan memungkinkan untuk memasok negara tetangga yang membutuhkan.

Kembangkan dalam skala besar

Sebagai usulan solusi, bagaimana jika dibangun saja pembangkit energi terbarukan dalam skala besar.

Proyek energi terbarukan ini sangat erat kaitannya dengan 'economies of scale'. Sebagai contoh, pada April 2020 sebuah proyek PLTS 300 MWp di Saudi Arabia dilelang pada harga 1,6 cent USD.

Setahun kemudian, sebuah proyek PLTS 600 MWp juga di Saudi Arabia, dilelang pada harga 1 cent USD.

Semakin besar proyeknya semakin murah listrik yang dihasilkan. Harga listrik yang murah akan menguntungkan bagi masyarakat. Menambah daya saing industri penggunanya.

Dengan geliat industri di Batam, baik industri eksisting atau industri yang akan masuk kesana, penjualan listrik PLN Batam yang sebesar 2,5 TWh diasumsikan optimis meningkat 400 persen atau 4 kali lipat menjadi 10 TWh per tahun.

Ini bisa dipasok dari PLTS berkapasitas 7.500 MWp. Dengan asumsi 1 MWp per hektar, maka kapsitas ini akan membutuhkan lahan seluas 7500 hektar.

PLTS sebesar ini bisa dibangun pada area sekitar Kepulauan Riau. Baik di lahan-lahan tidak produktif, misalnya di pulau-pulau tak berpenghuni. Atau di perairan Kepulauan Riau dengan skema terapung.

Lebih jauh lagi, sistem kelistrikan Kepulauan Riau perlu diintegarasikan dengan sistem Sumatera.

Agar energi listrik dari air, panas bumi, energi surya yang besar potensinya di Sumatera akan bisa dikirim ke industri-industri di Batam. Bangun juga dalam skala besar agar kelebihannya bisa diekspor.

Pemerintah bisa saja 'memaksa' proyek energi terbarukan itu memprioritaskan komponen dari dalam negeri.

Misalkan kabel listrik, trafo, inverter, sudah dapat diproduksi secara lokal. Tenaga kerja proyek diwajibkan dari Indonesia.

Selain itu, Indonesia bisa menerapkan pajak terhadap listrik yang diekspor. Dengan demikian, semakin besar kemanfaatan proyek tersebut untuk Indonesia.

Dengan cara ini, maka kebutuhan ekspor dapat dilakukan tanpa mengabaikan kebutuhan energi bersih untuk industri dalam negeri.

Yang tidak kalah penting, iklim dunia usaha dan kepercayaan investor dapat dijaga. Hal ini juga akan memperkuat posisi Indonesia sebagai rumah energi terbarukan (renewable power house) di kawasan ASEAN.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com