Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Luhut Ingin Kantor Pusat Perusahaan Sawit Besar Ada di RI, Ini Tanggapan DPR

Kompas.com - 30/05/2022, 17:07 WIB
Akhdi Martin Pratama

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Yevri Sitorus mempertanyakan logika dan regulasi terkait pernyataan Menteri Koordinator Marinvest Luhut Binsar Panjaitan yang menyebut bahwa kantor pusat perusahaan sawit harus berada di Indonesia.

Menurut dia, pernyataan Luhut itu terkesan hanya berusaha menaikkan popularitas di tengah kritikan publik.

“Saya sih senang dengan pernyataan Pak Luhut itu, tetapi apa memang ada regulasinya? Apakah memang ada UU atau aturan pemerintah yang menyatakan dan mengharuskan semua investor yang berinvestasi harus berkantor pusat di Indonesia? atau kah itu hanya berlaku untuk perusahaan perkebunan sawit saja, tidak untuk perusahaan smelter, pembangkit listrik, tambang, migas, konsultan, lawyer, rumah sakit, telekomunikasi dan sebagainya?” ujar Deddy dalam keterangannya, Senin (30/5/2022).

Baca juga: Luhut Bakal Audit Perusahaan Kelapa Sawit, Begini Respons Serikat Petani Sawit

“Saya mengakui pernyataan dan niat Pak Luhut itu sangat populis, progressif dan heroik. Tetapi tanpa landasan hukum, kesannya jadi sekedar gertak sambal belaka,” tambahnya.

Dia mengaku akan mendukung bila kebijakan kantor pusat perusahaan sawit besar harus ada di Indonesia serius mau dilakukan. Namun perlu dipikirkan apakah hal itu akan berdampak kepada iklim investasi di Indonesia atau tidak.

“Apakah dulu Exxon dan Freeport kantor pusatnya ada di Indonesia atau apakah sekarang PWC, McKenzie, Huadian, Newmont, Chingsan, Huawei, Virtue Dragon, Obsidian, Silk Road dan sebagainya itu juga harus berkantor pusat di Indonesia? Menurut saya Pak Luhut harusnya tidak menerapkan standar ganda, sehingga tersirat ada agenda tersembunyi dan merusak iklim berinvestasi di Indonesia,” ungkapnya.

Menurut legislator PDI Perjuangan itu ada banyak persoalan hulu dalam industri sawit yang seharusnya diurusi oleh Luhut sebagai orang yang ditugasi membereskan permasalahan minyak goreng.

Misalnya adalah soal Domestic Price Obligation (DPO) meliputi penetapan harga Tandan Buah Sawit (TBS) hingga CPO, serta produk minyak goreng yang masih mengacu pada harga internasional. Belum lagi soal mekanisme pemungutan dan kontrol CPO hasil DMO, kemampuan pemerintah menyiapkan fasilitas cadangan nasional hingga distribusi.

Masalah hulu lain yang jauh lebih penting adalah soal jangka waktu Hak Guna Usaha (HGU) dan pengembalian aset itu kepada negara. Selanjutnya, soal plasma dan luasan HGU yang merugikan bahkan mengorbankan petani kecil pemilik lahan dan masyarakat adat, hingga sering menimbulkan konflik.

Baca juga: Luhut Sindir Perusahaan Sawit Besar Kantornya di Luar Negeri, Siapa yang Dimaksud?

“Kenapa soal-soal hulu yang fundamental seperti itu tidak dipikirkan oleh Luhut. Kalau itu yang dia ingin selesaikan, saya angkat topi dan bangga,” ucap dia

Selanjutnya Deddy mengatakan, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak sekali masalah dalam perkebunan sawit terkait luasan lahan. Hal itu merugikan keuangan negara dari sektor penerimaan pajak, termasuk dugaan manipulasi pajak juga.

Menurutnya, jika kelebihan lahan perusahaan itu diberikan kepada masyarakat lokal atau masyarakat adat, maka akan memberikan kesejahteraan.

“Tapi kok Pak Luhut tidak berpikir membereskan masalah lahan ini yang sudah merupakan konflik bersifat manifes dan sering memakan korban jiwa rakyat kecil. Saya ajak Pak Luhut ke Dapil daya di Kalimantan Utara bertemu dengan ribuan rakyat yang dirugikan oleh perusahaan sawit dengan sistem plasma, melihat barak-barak buruh sawit yang diperlakukan seperti budak. Itu semua persoalan hulu,” urai Deddy.

Deddy mengaku dirinya merasa aneh jika yang dipersoalkan Luhut adalah perusahaan sawit besar yang berkantor di luar negeri.

“Kan beliau itu Menko Marvest, apa enggak ngerti tentang bisnis dan investasi? Kalau semua investor harus berkantor pusat di Indonesia, saya jamin tidak ada investor yang mau datang ke Indonesia. Saya mau tanya, ada kepentingan apa Luhut sehingga memilih mengurusi hal yang tidak penting. Saya tidak berniat membela pengusaha sawit, bisa dikatakan saya anti perkebunan monokultur skala besar yang merusak lingkungan. Tapi sebagai Anggota DPR RI, saya mengatakan bahwa Pak Luhut itu salah fokus atau punya agenda lain,” tutup Deddy.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com