Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Ekonomi Pariwisata Berbudaya Indonesia

Kompas.com - 31/05/2022, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Selain Inggris, Jepang merupakan contoh menarik lainya. Meskipun di bawah bayang-bayang Amerika, karena menjadi pihak yang kalah di perang dunia kedua, Jepang membuktikan bahwa "keringat" dan "identitas" bisa berjalan bersama.

Jepang bisa menjadi sekelas Amerika secara ekonomi, tapi berbeda secara "rasa". Bahkan sebelum perang dunia pertama, Jepang telah menunjukan kepada dunia bahwa Jepang adalah imperium industri yang sejajar dengan negara-negara Barat, baik Inggris, Jerman, Perancis, Rusia, dan Amerika.

Pun setelah porak-poranda di perang dunia kedua, Jepang kembali berhasil menyejajarkan diri dengan negara maju 20 tahun kemudian, dengan ciri dan strategi Asia yang menonjol.

Cara Jepang kemudian menular ke Korea Selatan dan Taiwan. Korea Selatan membenci Jepang, meskipun secara ekonomi, Jepang adalah kiblatnya.

Walhasil, Korea Selatan mampu mengikuti jalan ekonomi Jepang dengan tetap "berpakaian" ala Korea.

Walaupun Korea Selatan perlu bekerja keras membangun kembali fondasi budayanya karena selama hampir setengah abad di bawah jajahan Jepang, budaya Korea dihancurkan sedemikian rupa.

Lihat saja betapa tenarnya drama Korea atau K-Pop, yang jelas sangat berbeda dengan Hollywood.

Taiwan pun sebenarnya demikian, meskipun secara teknis Taiwan juga kesulitan dalam menentukan identitas dirinya, apakah bagian dari budaya China atau Jepang.

Setelah Jepang menginvasi Formossa (Taiwan) tahun 1895, Jepang melengkapi infrastruktur dasar dan infrastruktur pertanian di pulau itu, sekaligus memaksakan budaya dan bahasa Jepang kepada penduduknya.

Walhasil, sebelum kedatangan rombongan Chiang Kai Shek, pulau Taiwan dihuni oleh keturunan China berbahasa Jepang.

Tapi kini Taiwan sudah memiliki buku sejarah sendiri, yang menggambarkan bahwa Taiwan secara historis dan budaya layak diakui sebagai entitas tersendiri di luar identitas China Mainland atau Jepang.

Dan Taiwan menjadikan nilai-nilai baru tersebut sebagai pembungkus pembangunan ekonominya yang penampakannya juga berbeda dengan Shanghai atau Tokyo.

Hal yang sama berlaku pula dengan Jerman, Perancis, Amerika, atau China, misalnya, untuk menyebut beberapa di antaranya.

"Rasa" saat di London berbeda dengan "rasa" saat di Berlin, di Paris, di New York, atau di Shanghai.

Bahkan China sudah membangun lebih dari 3000 museum sepanjang 20 tahun terakhir sampai-sampai dijuluki oleh rakyatnya sebagai “negara museum.”

Sementara di internal negara-negara tersebut, juga terasa variasi budayanya. Meskipun di kota-kota tersebut juga terdapat cafe-cafe atau makanan siap saji bermerek sama, misalnya Starbuck, KFC, Mc Donald, atau gerai-gerai pakaian bermerek global.

Rasa di New York berbeda dengan di Chicago, apalagi dengan di Miami, California, atau Los Angles, karena negara-negara bagian tersebut juga berkembang berdasarkan identitas regionalnya.

Atau antara Berlin, Frankfur, dan Munic. Atau antara Tokyo, Osaka, dan Kyoto. Atau pula antara England, Wales, dan North Ireland. Dan seterusnya.

Tapi rasanya agak kurang didapat di Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, atau Kota Padang, misalnya.

Kota-kota tersebut berkembang dalam spirit ekonomi yang sama, tapi belum terlalu menonjol sokongan budayanya. Semuanya masih "rasa" Starbuck dan McD di bawah atap Mall Transmart, misalnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com