Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Ekonomi Pariwisata Berbudaya Indonesia

Kompas.com - 31/05/2022, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA tahun 1940-an, Jhon Maynard Keynes masih tercatat sebagai penasihat kementerian keuangan Inggris tanpa digaji. Di sisi lain, Keynes juga jadi penasihat dalam dewan perang.

Setelah perang usai, ia dipercaya menjadi wakil Inggris pada konfrensi Bretton Wood, yang mengakhiri standar emas dalam sistem pembayaran dunia.

Pada mulanya, mata uang mayoritas negara-negara utama dunia terpaut pada nilai emas dan cadangan emas yang dimiliki oleh bank sentralnya.

Negara tidak bisa mencetak uang sembarangan jika tidak didukung oleh kepemilikan cadangan emas dalam jumlah tertentu.

Tapi pada konfrensi Bretton Wood, disepakati semua mata uang dunia terpaut pada dollar dan hanya dollar yang terpaut pada emas.

Lalu dibatalkan secara sepihak oleh Richard Nixon tahun 1971, karena inflasi dan gonjang-ganjing nilai mata uang akibat ulah spekulan.

Maka lahirlah mata uang fiat yang membuat semua mata uang terkatung-katung tanpa nilai instrinstik sebagaimana hari ini.

Kala itu, Keynes adalah salah seorang ekonom paling terkenal di dunia. Ia berkawan dengan banyak tokoh besar di Amerika, misalnya Hakim Agung AS Felix Frankfurter, Raja Alfonso XIII yang berdarah Spanyol, jurnalis plus selebriti Walter Lippmann, penyair T.S. Eliot, novelis Virginia Woolf, dan banyak lagi raksasa pikir lain abad ke-20 yang sulit disebutkan satu per satu

Menara Jam Istana Westminster, bahasa sehari-hari dikenal sebagai Big Ben, di Westminster, London, Inggris.canva.com Menara Jam Istana Westminster, bahasa sehari-hari dikenal sebagai Big Ben, di Westminster, London, Inggris.
Nah, kalau Anda pernah berkeliling Kota London, mengagumi semua warisan budaya dan seninya, ya itulah buah dari jasa besar seorang Keynes pascaperang dunia kedua.

Sejarah mencatat, setelah perang usai, Kota London porak poranda. Pesawat-pesawat Jerman menjatuhkan jutaan ton bom di kota tersebut, termasuk varian roket V1 dan V2 besutan Von Braun.

Bom tersebut tidak saja membuat puluhan ribu bangunan hancur, tapi juga membuat Sungai Thames ketiban limpahan kotoran manusia, akibat saluran pembuangan pemukiman bocor dan mengalir ke sungai nan fenomenal tersebut.

Keynes mewakili kementerian keuangan Inggris, kemudian bernegosiasi dengan permerintahan Truman, untuk mendapatkan pinjaman awal sekira 2 miliar dollar AS (dengan nilai di era itu) yang masuk ke dalam program Marshall (Marshall’s Plan).

Sebagaimana diceritakan dengan apik oleh Zachary D Carter dalam bukunya tahun 2020 lalu,”The Price of Peace. Money, Democracy, and The Life of John Maynard Keynes,” dalam sebuah paparannya di BBC radio, di mana sang istri tercintanya bekerja, Keynes menyampaikan visinya.

Kota London harus dibangun kembali menjadi pusat budaya dan seni dunia. Karena itu, kata Keynes, anggaran harus dialokasikan untuk membangun kembali museum-museum, gedung opera, stadion seni dan pertunjukan, dan pusat-pusat seni budaya lainya.

Bukan saja atas nama pembangunan kebudayaan, tapi juga atas nama pelebaran kesempatan kerja bagi para pegiat budaya dan seni, para pekerja tetap seni, dan para penikmat seni.

Sebelum paparan tersebut, Keynes juga telah merumuskan program asuransi kesehatan dan pensiun bagi veteran, mengalokasikan rencana anggaran untuk pemulihan fasilitas umum, mulai dari transportasi publik sampai pada saluran air perkotaan.

Jadi patut diduga, jika tidak ada seorang manusia bernama John Maynard Keynes pascaperang dunia kedua, boleh jadi wajah kota London tidak seperti hari ini.

Dan lucunya, John Maynard Keynes, sampai hari ini pun, dikenal sebagai seorang ekonom kenamaan, bukan budayawan.

Tapi Keynes sangat sadar bahwa pembangunan ekonomi tak lengkap tanpa pembangunan budaya.

Kemajuan ekonomi menunjukan keringat (produktifitas) kita. Tapi pembangunan budaya menunjukan siapa (identitas) kita. Keduanya harus berjalan bersama bak dua rel kereta api.

Selain Inggris, Jepang merupakan contoh menarik lainya. Meskipun di bawah bayang-bayang Amerika, karena menjadi pihak yang kalah di perang dunia kedua, Jepang membuktikan bahwa "keringat" dan "identitas" bisa berjalan bersama.

Jepang bisa menjadi sekelas Amerika secara ekonomi, tapi berbeda secara "rasa". Bahkan sebelum perang dunia pertama, Jepang telah menunjukan kepada dunia bahwa Jepang adalah imperium industri yang sejajar dengan negara-negara Barat, baik Inggris, Jerman, Perancis, Rusia, dan Amerika.

Pun setelah porak-poranda di perang dunia kedua, Jepang kembali berhasil menyejajarkan diri dengan negara maju 20 tahun kemudian, dengan ciri dan strategi Asia yang menonjol.

Cara Jepang kemudian menular ke Korea Selatan dan Taiwan. Korea Selatan membenci Jepang, meskipun secara ekonomi, Jepang adalah kiblatnya.

Walhasil, Korea Selatan mampu mengikuti jalan ekonomi Jepang dengan tetap "berpakaian" ala Korea.

Walaupun Korea Selatan perlu bekerja keras membangun kembali fondasi budayanya karena selama hampir setengah abad di bawah jajahan Jepang, budaya Korea dihancurkan sedemikian rupa.

Lihat saja betapa tenarnya drama Korea atau K-Pop, yang jelas sangat berbeda dengan Hollywood.

Taiwan pun sebenarnya demikian, meskipun secara teknis Taiwan juga kesulitan dalam menentukan identitas dirinya, apakah bagian dari budaya China atau Jepang.

Setelah Jepang menginvasi Formossa (Taiwan) tahun 1895, Jepang melengkapi infrastruktur dasar dan infrastruktur pertanian di pulau itu, sekaligus memaksakan budaya dan bahasa Jepang kepada penduduknya.

Walhasil, sebelum kedatangan rombongan Chiang Kai Shek, pulau Taiwan dihuni oleh keturunan China berbahasa Jepang.

Tapi kini Taiwan sudah memiliki buku sejarah sendiri, yang menggambarkan bahwa Taiwan secara historis dan budaya layak diakui sebagai entitas tersendiri di luar identitas China Mainland atau Jepang.

Dan Taiwan menjadikan nilai-nilai baru tersebut sebagai pembungkus pembangunan ekonominya yang penampakannya juga berbeda dengan Shanghai atau Tokyo.

Hal yang sama berlaku pula dengan Jerman, Perancis, Amerika, atau China, misalnya, untuk menyebut beberapa di antaranya.

"Rasa" saat di London berbeda dengan "rasa" saat di Berlin, di Paris, di New York, atau di Shanghai.

Bahkan China sudah membangun lebih dari 3000 museum sepanjang 20 tahun terakhir sampai-sampai dijuluki oleh rakyatnya sebagai “negara museum.”

Sementara di internal negara-negara tersebut, juga terasa variasi budayanya. Meskipun di kota-kota tersebut juga terdapat cafe-cafe atau makanan siap saji bermerek sama, misalnya Starbuck, KFC, Mc Donald, atau gerai-gerai pakaian bermerek global.

Rasa di New York berbeda dengan di Chicago, apalagi dengan di Miami, California, atau Los Angles, karena negara-negara bagian tersebut juga berkembang berdasarkan identitas regionalnya.

Ilustrasi Jepang - Osaka Castle.SHUTTERSTOCK Ilustrasi Jepang - Osaka Castle.
Atau antara Berlin, Frankfur, dan Munic. Atau antara Tokyo, Osaka, dan Kyoto. Atau pula antara England, Wales, dan North Ireland. Dan seterusnya.

Tapi rasanya agak kurang didapat di Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, atau Kota Padang, misalnya.

Kota-kota tersebut berkembang dalam spirit ekonomi yang sama, tapi belum terlalu menonjol sokongan budayanya. Semuanya masih "rasa" Starbuck dan McD di bawah atap Mall Transmart, misalnya.

Tapi kental terasa perbedaannya antara Jakarta dan Denpasar, misalnya, meskipun ada Starbuck, McD, atau Transmart, karena Bali memang memadukan antara ekonomi dan budaya dalam konsep ekonomi Pariwisata.

Setiap bangunan di Denpasar, baik pemerintah maupun swasta, diwajibkan menyertakan beberapa unsur budaya Bali.

Bisa bentuk gapuranya, pagarnya, asesoris ruang tamunya, atau apapun penampakan depannya.

Jalan Malioboro, Yogyakarta

Shutterstock Jalan Malioboro, Yogyakarta
Yogyakarta di sisi lain juga sudah terbilang seirama dengan Bali. Dan kota-kota besar dunia yang disebutkan di atas, termasuk Bali dan Yogyakarta, memang berhasil menjadi kota-kota dengan kunjungan wisata yang tinggi setiap tahun.

Karena untuk merasakan London, tidak cukup hanya datang ke salah satu negara Eropa, tapi harus benar-benar ke London. Begitu pula dengan Paris, Bali atau Yogyakarta.

Berbeda dengan Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, atau Padang, yang minim sentuhan budaya dalam penampakan kotanya.

Di Sumbar, misalnya, tanda pembedanya hanya atapnya saja. Sementara atap tak bisa dirasakan, layaknya pagar atau asesori ruang tamu.

Bahkan perbedaan dengan Bukittinggi seolah-olah hanya suhunya saja. Perbedaan baru mulai terasa setelah keluar dari kota Padang.

Tapi bukan karena perbedaan rasa, justru karena peralihan dari daerah kota ke daerah semi urban dan daerah pedesaan.

Jadi kembali kepada cerita Keynes tadi, Indonesia perlu memberi ruang fiskal dan regulasional yang layak untuk pembangunan budaya, di mana museum, teater, studio-studio seni, ruang-ruang terbuka, suasana perkantoran, dan ruang publik lainya, hadir sebagai simbol-simbol budaya dan seni Indonesia.

Pembangunan budaya semestinya menjadi identitas kultural bagi setiap langkah pembangunan ekonomi, mulai dari pusat sampai ke daerah, meskipun pertunjukan seni budayanya tidak berlangsung setiap saat.

Begitu pula dengan masjid-masjid, perlu dikemas agar menjadi simbol-simbol komunikatif yang menjelaskan siapa diri kita.

Kota memang perlu tertib, bersih, teratur, tapi semua kota di dunia melakukan itu dan memiliki ciri itu.

Yang tidak dimiliki oleh kota lain adalah rasa yang tidak dicandra dengan lidah, tapi dengan hati. Dan rasa itu semestinya lahir dari budaya kita sendiri.

"Rasa" itulah yang semestinya membuat orang datang ke Jakarta, Bandung, Jogyakarta, Semarang, Malang, Surabaya, atau Sumbar, dan lainya, yang tak bisa diwakilkan oleh siapapun atau sekadar menontonnya di Youtube.

Dengan kata lain, Indonesia perlu maju secara ekonomi dalam pakaiaan budaya Indonesia sendiri.

Setelah mampu masuk ke level itu, maka seruannya sudah bukan lagi "visit Indonesia," tapi “ feel Indonesia, feel the taste of Indonesia." Semoga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com