Sementara hingga saat ini, porsi bauran energi terbarukan baru mencapai 11,7 persen atau masih terdapat celah 11,3 persen.
Jika hanya menjalankan skenario bisnis sebagaimana biasanya, capaian energi terbarukan pada tahun 2025 diperkirakan akan stagnan pada kisaran 15 persen-16 persen.
Komitmen pemerintah dalam mengembangkan energi terbarukan secara eksplisit tertuang dalam pasal yang mengatur transisi dan peta jalan agar dilaksanakan secara bertahap, terukur, rasional, dan berkelanjutan.
Salah satu poin pembahasan yang menarik dalam RUU EBT adalah bahwa seluruh pembangkit listrik tenaga diesel wajib diganti menjadi pembangkit listrik energi baru dan energi terbarukan paling lambat pada 2024.
Namun, beberapa pihak memandang RUU EBT sebagai regulasi yang rancu karena memfasilitasi batu bara dengan proses gasifikasi dalam bentuk DME (Dimethyl Ether) yang dianggap menghambat energi terbarukan.
Kedua, RUU EBT akan mengatur Standar Portofolio Energi Terbarukan (SPET), yaitu standar minimum bagi badan usaha yang mengelola listrik dari sumber energi tak terbarukan untuk beralih kepada pengelolaan listrik dari sumber energi terbarukan.
Keberadaan SPET bertujuan agar pengembangan energi terbarukan mendapatkan kepastian dalam tataran yang sama terkait "level of playing field".
Selain itu, SPET akan membuktikan bahwa energi terbarukan dapat diandalkan dan bisa menjadi leading sector yang dapat mengungkit kebangkitan ekonomi.
Selain itu, Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) mengusulkan agar RUU EBT juga mengatur pembentukan BPET (Badan Pengelola Energi Terbarukan).
BPET akan memiliki fungsi pengaturan (regulatory), fungsi dukungan teknis (technical assistance), dan fungsi pembiayaan dan investasi (finance and investment).
Keberadaan BPET yang secara spesifik menangani pengembangan EBT merupakan suatu konsep yang umum dan telah diterapkan di beberapa negara seperti ARENA (Australian Renewable Energy Agency), DENA (Deutsche Energie-Agentur), SEDA (Sustainable Energy Development Agency) di Malaysia, dan NREB (National Renewable Energy Board) di Filipina.
Tugas BPET di antaranya menyusun strategi implementasi pemanfaatan energi terbarukan, berkoordinasi dengan kementerian/lembaga negara yang ada untuk impelementasi strategi, mengkoordinasikan perencanaan dan pengadaan energi terbarukan dengan badan usaha, mempromosikan investasi energi terbarukan, serta mengelola dan menetapkan alokasi pemanfaatan dana energi terbarukan.
Dengan demikian, tugas BPET akan berbeda dengan kementerian/lembaga negara di bidang energi, sehingga tidak akan ada duplikasi.
Tantangan selanjutnya adalah RUU EBT harus dipastikan harmonis dengan arah kebijakan pengembangan energi terbarukan dalam RPJMN 2020-2024.
Selain itu, jika memang semangat debirokratisasi dan deregulasi UU Ciptaker belum bisa menjawab kelemahan regulasi energi terbarukan yang selama ini ada, RUU EBT perlu bisa menjawab tantangan itu.
RUU EBT diharapkan dapat mengarahkan pengembangan energi terbarukan sesuai dengan potensi dan konteks terkini Indonesia.
Hal yang tak kalah penting adalah RUU EBT perlu bisa mengharmonisasikan dan mengnyinergikan regulasi-regulasi terkait energi terbarukan yang ada saat ini.
*Yasir Arafat, S.Si., M.Si, Pusat Analisis Kebijakan dan Kinerja, Kementerian PPN/Bappenas
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.