Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mata Garuda Banten
Perkumpulan Alumni Beasiswa LPDP di Provinsi Banten

Perkumpulan alumni dan awardee beasiswa LPDP di Provinsi Banten. Kolaborasi cerdas menuju Indonesia emas 2045.

Potensi dan Tantangan Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia

Kompas.com - 31/05/2022, 14:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Yasir Arafat, S.Si., M.Si.*

INDONESIA merupakan salah satu negara dengan sumber daya energi terbarukan (renewable energy) paling melimpah di dunia dengan total potensi sebesar 441,7 GW.

Namun, pemanfaatannya belum optimal, baru sekitar 11,2 GW atau hanya 2,5 persen (data per Januari 2022 dari Kementerian ESDM).

Lebih khusus panas bumi yang saat ini baru terpasang 9,5 persen dari total potensi sebesar 24 GW. Padahal, potensi panas bumi di Indonesia mencapai 40 persen dari total potensi panas bumi di seluruh dunia (Nasruddin et al, 2016).

Posisi dan kondisi geografi serta geologi Indonesia juga sangat kondusif untuk dapat mengoptimalkan 208 GW tenaga surya, 75 GW tenaga air, 61 GW tenaga angin, 33 GW bionergi, dan 18 GW energi laut (Erdiwansyah et al, 2021).

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan sektor energi terbarukan sulit berkembang, di antaranya biaya dan investasi pengembangannya masih dianggap belum kompetitif dibandingkan energi fosil.

Kemudian P3IPTEK (Penelitian, Pengembangan, dan Penguasaan IPTEK) di bidang energi terbarukan masih terbatas, serta belum adanya regulasi yang lebih kuat, komprehensif, dan menjamin kepastian hukum bagi pengembangan energi terbarukan.

Meskipun telah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur energi terbarukan, tetapi pemanfaatan dan pengembangannya sampai saat ini belum maksimal.

Selain UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, regulasi eksisting terkait energi terbarukan adalah UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, PP Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Perpres Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Dengan disahkannya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) sebagai Omnibus Law diharapkan dapat mendorong pengembangan energi terbarukan.

Namun, dengan substansi UU Ciptaker yang berfokus pada debirokratisasi dan deregulasi, tidak akan berpengaruh signifikan pada upaya mempercepat pengembangan energi terbarukan.

UU Ciptaker tidak menyasar energi terbarukan secara keseluruhan, tetapi hanya panas bumi. Di tambah lagi, variabel panas bumi yang disasar hanya pada pemanfaatan langsung, bukan untuk keperluan pembangkit listrik.

Selain itu, pembahasan panas bumi dalam UU Ciptaker lebih banyak berfokus pada kemudahan perizinan di wilayah konservasi dan penekanan sanksi administratif dibandingkan sanksi pidana.

Di sisi lain, Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang kini berubah menjadi RUU EBET (Energi Baru dan Energi Terbarukan) telah masuk tahap harmonisasi dalam dalam Prolegnas DPR RI, dianggap lebih mampu mendorong pemanfaatan potensi energi terbarukan.

Hal penting mengapa RUU EBT dianggap bisa memberikan solusi bagi pengembangan energi terbarukan adalah pertama, RUU EBT menegaskan prioritas pemerintah untuk memenuhi target pencapaian energi terbarukan dalam bauran energi nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh KEN, yaitu 23 persen pada 2025 lalu 31 persen pada 2050.

Sementara hingga saat ini, porsi bauran energi terbarukan baru mencapai 11,7 persen atau masih terdapat celah 11,3 persen.

Jika hanya menjalankan skenario bisnis sebagaimana biasanya, capaian energi terbarukan pada tahun 2025 diperkirakan akan stagnan pada kisaran 15 persen-16 persen.

Komitmen pemerintah dalam mengembangkan energi terbarukan secara eksplisit tertuang dalam pasal yang mengatur transisi dan peta jalan agar dilaksanakan secara bertahap, terukur, rasional, dan berkelanjutan.

Salah satu poin pembahasan yang menarik dalam RUU EBT adalah bahwa seluruh pembangkit listrik tenaga diesel wajib diganti menjadi pembangkit listrik energi baru dan energi terbarukan paling lambat pada 2024.

Namun, beberapa pihak memandang RUU EBT sebagai regulasi yang rancu karena memfasilitasi batu bara dengan proses gasifikasi dalam bentuk DME (Dimethyl Ether) yang dianggap menghambat energi terbarukan.

Kedua, RUU EBT akan mengatur Standar Portofolio Energi Terbarukan (SPET), yaitu standar minimum bagi badan usaha yang mengelola listrik dari sumber energi tak terbarukan untuk beralih kepada pengelolaan listrik dari sumber energi terbarukan.

Keberadaan SPET bertujuan agar pengembangan energi terbarukan mendapatkan kepastian dalam tataran yang sama terkait "level of playing field".

Selain itu, SPET akan membuktikan bahwa energi terbarukan dapat diandalkan dan bisa menjadi leading sector yang dapat mengungkit kebangkitan ekonomi.

Selain itu, Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) mengusulkan agar RUU EBT juga mengatur pembentukan BPET (Badan Pengelola Energi Terbarukan).

BPET akan memiliki fungsi pengaturan (regulatory), fungsi dukungan teknis (technical assistance), dan fungsi pembiayaan dan investasi (finance and investment).

Keberadaan BPET yang secara spesifik menangani pengembangan EBT merupakan suatu konsep yang umum dan telah diterapkan di beberapa negara seperti ARENA (Australian Renewable Energy Agency), DENA (Deutsche Energie-Agentur), SEDA (Sustainable Energy Development Agency) di Malaysia, dan NREB (National Renewable Energy Board) di Filipina.

Tugas BPET di antaranya menyusun strategi implementasi pemanfaatan energi terbarukan, berkoordinasi dengan kementerian/lembaga negara yang ada untuk impelementasi strategi, mengkoordinasikan perencanaan dan pengadaan energi terbarukan dengan badan usaha, mempromosikan investasi energi terbarukan, serta mengelola dan menetapkan alokasi pemanfaatan dana energi terbarukan.

Dengan demikian, tugas BPET akan berbeda dengan kementerian/lembaga negara di bidang energi, sehingga tidak akan ada duplikasi.

Tantangan selanjutnya adalah RUU EBT harus dipastikan harmonis dengan arah kebijakan pengembangan energi terbarukan dalam RPJMN 2020-2024.

Selain itu, jika memang semangat debirokratisasi dan deregulasi UU Ciptaker belum bisa menjawab kelemahan regulasi energi terbarukan yang selama ini ada, RUU EBT perlu bisa menjawab tantangan itu.

RUU EBT diharapkan dapat mengarahkan pengembangan energi terbarukan sesuai dengan potensi dan konteks terkini Indonesia.

Hal yang tak kalah penting adalah RUU EBT perlu bisa mengharmonisasikan dan mengnyinergikan regulasi-regulasi terkait energi terbarukan yang ada saat ini.

*Yasir Arafat, S.Si., M.Si, Pusat Analisis Kebijakan dan Kinerja, Kementerian PPN/Bappenas

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com