Deni mengatakan, pada dasarnya kerugian yang dialami masing-masing perusahaan berbeda, tergantung seberapa besar kasus penipuan yang terjadi. Menurutnya, di samping kerugian materil, perusahaan juga berpotensi mengalami kerugian rusaknya reputasi perusahaan.
Kondisi itu umumnya terjadi pada perusahaan yang bergerak di sektor yang berbasis kepercayaan, misalnya jasa keuangan. Jika terjadi fraud pada sebuah perusahaan jasa keuangan maka sangat mempengaruhi reputasinya, dan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat.
"Maka penting untuk perusahaan memiliki mitigasi resiko yang memadai, karena reputasi aset utama dari organisasi. Sehingga bisa menunjukan ke pasar bahwa perusahaan punya standar kelas dunia dalam memitigasi fraud, jadi bukan hanya fokus pada kerugian keuangan tapi juga dampak yang lebih besarnya, yaitu reputasi," papar Deni.
Adapun dalam survei ini, dari 80 persen perusahaan yang pernah mengalami penipuan, sebanyak 39 persen di antaranya mengalami peningkatan insiden penipuan di masa pandemi karena alasan seperti kehilangan pekerjaan atau pengurangan gaji.
Sebanyak 86 persen perusahaan pun memilih untuk menyelidiki atau menyelesaikan kasus penipuan yang terjadi secara internal dan berupaya memilihkan kerugian dibandingkan mengungkapkan insiden ini ke jalur hukum.
Sementara itu, responden mengaku sebagian besar kasus kecurangan terdeteksi melalui program whistleblower atau pengaduan, dan selebihnya ditemukan dari audit internal.
"Jadi menariknya, kalau berdasarkan survei ini, 62 persen itu mengaku datangnya (kasus penipuan) dari mekanisme pengaduan, kan perusahaan-perusahaan sekarang banyak yang menerapkan chanel pengaduan," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.