Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, DJP memiliki sistem canggih, seperti Automatic Exchange of Information (AEoI) dan memanfaatkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Dengan sistem tersebut, Ditjen Pajak mampu mendeteksi pengemplang pajak yang tidak mengikuti tax amnesty/tidak mengungkapkan besaran harta yang sebenarnya saat PPS berlangsung.
"Jadi mendingan daripada hidupnya enggak berkah, sudah, lah, ikut saja. Daripada enggak berkah dan kemungkinan (kena sanksi) 200 persen, mendingan ikut saja. Sudah diberi kesempatan," seloroh Sri Mulyani.
Terkait sanksi, Kemenkeu menyamakan sanksi administratif dengan program tax amnesty tahun 2016 lalu, yakni 200 persen untuk WP yang masuk dalam kriteria kebijakan I atau WP yang pernah mengikuti tax amnesty tahun 2016.
Sanksi tertuang dalam Pasal 18 ayat 3 UU Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak. Sanksi itu bakal dijatuhkan ketika Ditjen Pajak menemukan harta wajib pajak yang tidak atau belum dilaporkan dalam Surat Pernyataan Harta (SPH) usai mengikuti PPS.
Atas tambahan harta itu, maka dikenai pajak penghasilan (PPh) sesuai dengan Pasal 4 PP 36/2017. Tarif PPh yang harus dibayar wajib pajak badan sebesar 25 persen, wajib pajak orang pribadi sebesar 30 persen, dan wajib pajak tertentu sebesar 12,5 persen.
Rumusan sanksinya adalah tarif PP 36/2017 x nilai harta baru + sanksi UU TA 200 persen.
Sementara bagi OP peserta PPS kebijakan II, tarif yang dikenakan bila telat lapor harta adalah PPh final 30 persen dari harta bersih + sanksi bunga per bulan ditambah uplift factor 15 persen.
"Jadi sanksinya cukup tajam. Capek dong, jadi mendingan ikut saja sekarang. Jauh lebih ringan dibanding sanksi 200 persen," tandas Sri Mulyani.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.