Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Paradok Pajak dan Demokrasi

Kompas.com - 04/06/2022, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Toh sudah ada lembaga perwakilan yang gedungnya sangat megah, pesta demokrasinya sangat mahal. Ada representasi, karena itu taxasi mengikutinya.

Anehnya, sebagian pihak di akar rumput tetap memaksakan diri untuk bangga, bahkan ada juga yang terlalu bangga, bertengkar atas nama para pemangaku kuasa, berkelahi seolah-olah kepentingan rakyat ada di dalam daftar prioritas penguasa.

Bahkan saat mereka bertengkar memperebutkan "mesin tambang keringat rakyat" bernama partai politik itu, sebagian rakyat justru bangga saja ikut meramaikannya, ikut berbuih-buih membela salah satunya di berbagai ruang publik.

Jadi seberapa yakin kita bahwa demokrasi yang seharusnya memberi harapan itu, belum dibajak oleh para elite?

Saya sih dari dulu cukup yakin, sudah sedari bayi demokrasi Indonesia dibajak oleh pejabat-pejabat terpilihnya.

Yang terasa hari ini, seolah-olah bagi para elite dan dedengkot ekonomi politik bahwa demorkasi sebenarnya tak ada apa-apanya.

Bagi mereka, demokrasi itu hanya alat untuk memajaki rakyat atas nama negara atau mengatasnamakan rakyat untuk menumpuk utang sekenanya, agar kantong-kantong negara tetap terjamin isinya untuk bisa dibagi-bagi di antara sesama mereka.

Isi kantong negara kemudian dialirkan dari atas ke bawah. Artinya, yang di atas dulu dipenuhi kebutuhannya, lalu mengalir ke lapisan ke dua sampai memenuhi kepentingan dan kebutuhan lapisan kedua, lalu terus ke bawah, begitu seterusnya.

Proyek-proyek dirumuskan utamanya untuk dikerjakan oleh rekan-rekan yang memang sedari awal telah berinvestasi di dalam pesta-pesta demokrasi.

Perkara proyeknya fungsional, mencapai target dan sasaran, atau bersesuaian dengan kepentingan rakyat, itu perkara ke sekian.

Sampai tersisa seadanya untuk lapisan paling bawah, yakni rakyat. Contoh sisa itu, misalnya, seorang anggota DPR menyumbang ini dan itu ke dapilnya.

Yang namanya sumbangan ya barang sisa. Kenapa dia bisa begitu? Karena dia anggota DPR. Waktu belum jadi anggota DPR, ia biasanya tak begitu.

Padahal bukan itu toh yang diharapkan dari seorang wakil rakyat. Yang diharapkan adalah legislasi yang mewakili kepentingan rakyat (legislating), alokasi anggaran pada kebijakan-kebijakan yang mewakili kepentingan rakyat (budgeting), dan teriakan lantang kepada penguasa yang menyalahi aspirasi rakyat (controlling). Itulah yang seharusnya dilakukan wakil rakyat.

Anggota DPR semacam itu hanya berpikir bagaimana untuk terpilih kembali di laga selanjutnya, baik untuk tetap di posisi semula, atau untuk posisi lain yang lebih prestisius. Segala pemberiannya tentu perlu dihargai.

Setidaknya budaya timur mengajarkan kita begitu. Jika itu mengatasnamakan jabatan wakil rakyat, maka bukan begitu cara kerjanya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com