Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agus Herta
Dosen

Dosen FEB UMB dan Ekonom Indef

Di Balik Masih Tingginya Harga Minyak Goreng

Kompas.com - 10/06/2022, 16:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ISU kelangkaan minyak goreng saat ini masih menjadi isu publik yang paling banyak mendapat perhatian.

Bahkan sejak awal tahun baru sampai dengan akhir menjelang triwulan II 2022, harga minyak goreng belum juga kunjung turun dan kembali seperti semula.

Harga eceran minyak goreng masih tetap tinggi seiring dengan masih meroketnya harga komoditas Crude Palm Oil (CPO) dunia.

Kenaikan harga CPO dunia sejatinya adalah berkah di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang belum sepenuhnya pulih dari hantaman resesi.

Kenaikan harga CPO dunia bisa menjadi pendongkrak neraca perdagangan dan menambah cadangan devisa negara.

Bahkan melejitnya ekspor CPO akan menambah pundi pemasukan negara melalui pajak ekspor yang selama ini diketahui cukup tinggi.

Namun sebagaimana diketahui bersama, kenaikan harga CPO dunia mengandung dilema yang cukup besar karena berkaitan langsung dengan produk yang menjadi hajat hidup orang banyak.

Berkah kenaikan harga CPO dunia harus berhadapan dengan kenaikan harga minyak goreng sebagai produk turunan CPO.

Pada awal tahun 2022, harga eceran minyak goreng di tingkat konsumen sempat mencapai angka Rp 20.000 per liter sebelum akhirnya menyentuh angka keseimbangan baru pada harga Rp 25.000 per liter.

Pemerintah pernah mengeluarkan beberapa kebijakan di antaranya penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) dan Domestic Price Obligation (DPO), yaitu sebesar Rp 14.000 per liter.

Penetapan HET dan DPO tersebut merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah dalam mengendalikan kenaikan harga eceran minyak goreng yang dinilai sudah di luar ambang batas kewajaran.

Penetapan HET dan DPO yang diharapkan mampu meredam kenaikan harga eceran minyak goreng di tingkat konsumen ternyata tidak berjalan mulus sesuai dengan apa yang diharapkan.

Produk minyak goreng, baik yang berbentuk kemasan maupun dalam bentuk curah dengan tingkat harga yang telah ditetapkan pemerintah hilang di pasaran. Masyarakat kesulitan untuk mendapatkan minyak goreng yang sesuai HET.

Respon Pemerintah

Untuk merespon kelangkaan minyak goreng yang terjadi di pasaran, pemerintah kembali melakukan intervensi dengan mengeluarkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Price Market Obligation (PMO).

Melalui kebijakan DMO dan DPO ini pemerintah mencoba mencari jalan tengah yang tidak merugikan pengusaha, namun di sisi lain tetap menjaga keamanan pasokan minyak goreng di dalam negeri.

Pemerintah menetapkan kebijakan DMO dengan menetapkan kewajiban pasokan ke dalam negeri yang berlaku wajib untuk seluruh produsen minyak goreng yang akan melakukan ekspor.

Seluruh eksportir yang akan mengekspor wajib memasok minyak goreng ke dalam negeri sebesar 30 persen dari volume ekspor masing–masing.

Dengan kebijakan DMO ini diharapkan pasar tidak lagi kekurangan pasokan minyak goreng, namun di sisi lain para pengusaha juga dapat tetap menikmati margin keuntungan dari kenaikan harga CPO dunia.

Seiring dengan penerapan kebijakan DMO, pemerintah juga menerapkan kebijakan DPO di mana harga CPO di dalam negeri ditetapkan sebesar Rp 9.300 per kilogram.

Harga DPO ini lebih rendah dari harga yang berlaku di pasar global di kisaran angka Rp 15.000 per kilogram.

Walaupun demikian, para pengusaha minyak goreng diyakini tidak akan mengalami kerugian karena mereka hanya menyalurkan 30 persen ke pasar domestik dari total ekspornya.

Melalui kebijakan DMO dan DPO ini, pemerintah mengklaim mampu menyalurkan minyak goreng sampai dengan 340 juta ton dalam satu bulan, jauh di atas kebutuhan pasar yang hanya mencapai 327 juta ton per bulan.

Oleh karena itu, melalui kebijakan DMO dan DPO, pemerintah memiliki keyakinan bahwa produk minyak goreng akan tersedia di pasar dalam jumlah cukup dengan tingkat harga yang telah ditetapkan pemerintah.

Masalah rantai pasok

Namun dalam perkembangannya, kebijakan DMO dan DPO tidak serta merta mampu mengatasi masalah tingginya harga minyak goreng di pasaran.

Harga minyak goreng masih tetap tinggi, walaupun pemerintah telah mengeluarkan dan mengubah berbagai kebijakan.

Bahkan operasi pasar yang dilakukan pemerintah tidak mampu menurunkan harga minyak goreng di pasaran.

Sampai saat ini masih terjadi antrean pembelian minyak goreng untuk jenis curah.

Jika kita meyakini kebenaran klaim pemerintah terkait jumlah penyaluran minyak goreng yang lebih besar dari jumlah kebutuhannya, maka kita bisa menyimpulkan bahwa masalah mahalnya harga minyak goreng ini terletak di rantai pasok.

Selama ini, rantai pasok produk minyak goreng bisa dikatakan cukup panjang. Produk minyak goreng harus melewati beberapa aktor/pelaku pasar dari mulai pabrik sampai ke tangan konsumen.

Panjangnya rantai pasok di dalam industri minyak goreng mengakibatkan proses perdagangan minyak goreng menjadi tidak efisien.

Jika pemerintah mengikuti alur rantai pasok minyak goreng yang sudah ada saat ini, maka besar kemungkinan berbagai intervensi pemerintah tidak akan pernah efektif.

Di sisi lain, intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan DMO dan DPO yang berlainan dengan hukum pasar juga bisa menimbulkan terjadinya moral hazard di setiap tingkatan pelaku pasar.

Dengan berharap keuntungan jangka pendek, setiap pelaku memiliki potensi untuk berbuat curang dengan melakukan penimbunan terhadap produk minyak goreng yang disalurkan pemerintah atau menyalurkannya ke pihak-pihak yang mau membayar lebih mahal.

Dengan adanya potensi moral hazard dari oknum pelaku pasar, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan DMO dan DPO seperti yang telah dilakukan selama ini.

Pemerintah perlu melibatkan regulator dan aparatur penegak hukum untuk menjamin tidak adanya tindakan curang atau tindakan melanggar hukum yang dilakukan oleh oknum pelaku pasar tersebut.

Pemerintah harus memotong rantai distribusi minyak goreng sepanjang mungkin sehingga mempersempit ruang gerak para pemburu rente minyak goreng tersebut.

Pemerintah bisa membuat ritel-ritel bayangan yang berdampingan dengan ritel-ritel yang telah menjadi distributor minyak goreng selama ini supaya minyak goreng bisa langsung dibeli oleh masyarakat.

Pemerintah juga bisa bekerja sama dengan para produsen minyak goreng untuk melakukan operasi pasar di bawah koordinasi Kemendag, Kepolisian, dan aparatur pemerintah tingkat keluruhan seperti yang pernah dilakukan dalam program vaksinasi Covid-19.

Jika pemerintah dan regulator serius dan tegas dalam menangani masalah kelangkaan minyak goreng, maka masalah kelangkaan akan segera berakhir dan tidak akan pernah terulang kembali di masa yang akan datang.

Indonesia adalah lumbung kelapa sawit dunia sehingga menurut kalkulasi empiris tidak mungkin Indonesia mengalami krisis minyak goreng. Ibarat kata pepatah, tidak mungkin tikus mati di lumbung padi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com