Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gatot Rahardjo
Pengamat Penerbangan

Pengamat penerbangan dan Analis independen bisnis penerbangan nasional

Bom Waktu di Penerbangan Indonesia

Kompas.com - 12/06/2022, 06:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Apakah maskapai tersebut salah? Tidak. Karena tidak ada aturan yang dilanggarnya.

Bahkan ketika group tersebut mengajukan proposal untuk membuat maskapai baru lagi, tetap diizinkan oleh Kementerian Perhubungan, sehingga kekuatannya menjadi lebih besar.

Ibaratnya, saat ini secara de facto terjadi monopoli, tetapi secara de jure tidak.

Dalam kondisi monopoli, pasar tentu saja akan diatur oleh yang memonopoli. Jika yang memonopoli perusahaan pemerintah atau BUMN, masih bisa dimengerti karena kebijakan perusahaan akan tetap bisa dievaluasi oleh pemerintah.

Tapi kalau yang monopoli swasta, tentu pemerintah tidak bisa mengendalikannya. Jika pemerintah memaksa, bisa saja maskapai tersebut menghentikan operasinya.

Kalau ini terjadi, barulah akan benar-benar terjadi kiamat di penerbangan nasional karena lebih dari 60 persen suplai penerbangan akan hilang.

Alih-alih mengendalikan agar tidak terjadi monopoli di penerbangan, pemerintah justru seperti merestuinya.

Hal ini terlihat dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perhubungan no. PM 35 tahun 2021 menggantikan Keputusan Menteri Perhubungan no. KM 25 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara.

Pada KM 25/ 2008, dalam hal penambahan kapasitas dan frekuensi penerbangan di satu rute, baru bisa dilakukan jika LF rata-rata maskapai sudah tinggi dan penambahan kapasitas atau frekuensi tidak boleh menyebabkan LF turun.

Misalnya, untuk rute utama dengan tingkat kepadatan sangat padat dan dilayani oleh lebih dari satu maskapai seperti Jakarta-Medan, penambahan kapasitas dan frekuensi penerbangan baru dapat dilakukan bila LF rata-rata sudah mencapai 80 persen selama 6 bulan.

Penambahan kapasitas dan frekuensi itu juga tidak boleh menyebabkan LF menjadi lebih rendah dari 70 persen.

Pada PM 35/ 2021, aturan tersebut dihapus. Dengan demikian setiap maskapai boleh saja menambah kapasitas dan frekuensi penerbangan ke satu rute, tanpa memperhatikan kondisi pasar dan kondisi maskapai lain.

Hal ini akan mengakibatkan perang antarmaskapai dan yang kuat pasti akan menang karena mempunyai sumber daya yang lebih besar. Jika sudah demikian, secara pelan tapi pasti akan terjadi monopoli di rute tersebut.

Bom waktu

Pemerintah seperti tidak menganggap penting sektor transportasi udara. Padahal transportasi udara inilah transportasi yang dibutuhkan masyarakat untuk melakukan pergerakan terutama antar pulau dengan cepat, selamat, aman dan nyaman.

Transportasi udara bukan lagi milik para orang-orang berduit hanya sekadar untuk gengsi. Namun juga dibutuhkan oleh para pelajar dari pelosok daerah untuk belajar ke kota atau ke pulau lain, dibutuhkan para pelaku UMKM untuk memasarkan produknya, dibutuhkan para pelaku wisata, dibutuhkan para pedagang, dibutuhkan para politisi untuk kunjungan ke daerah, dibutuhkan masyarakat yang ingin melakukan kunjungan keluarga, dan sebagainya.

Tanpa transportasi udara, niscaya perekonomian nasional akan melambat seperti pada masa pandemi Covid-19 saat transportasi udara dibatasi.

Saat ini aturan dan kebijakan yang dibuat terutama soal bisnis penerbangan lebih banyak bersifat jangka pendek tanpa memperhitungkan dampaknya di masa mendatang.

Evaluasi aturan dikaitkan dengan kondisi faktual juga sangat lambat dilakukan sehingga banyak kebijakan bisnis penerbangan yang seharusnya diperbaiki, tapi dibiarkan saja.

Ibaratnya, ada bom waktu di penerbangan nasional. Sayangnya, pemerintah sendiri lah yang membuat bom waktu tersebut.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com