Lihat saja, hingga Januari 2021, di saat pandemi Covid-19 sedang bergelora, peningkatan jumlah konsumen digital justru berhasil mencapai 21 juta. Angka tersebut memang masih jauh dibanding torehan ekonomi digital di negara maju.
Sebagaimana hasil riset dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) beberapa waktu lalu, konsumen ekonomi digital dan aktifitas belanja online di negara maju sudah mencapai dua pertiga dari jumlah penduduknya.
Sementara, Indonesia dengan 21 juta konsumen digital baru sekitar 10 persen dari total jumlah penduduk nasional.
Berkaca dari tingkat pertumbuhan ekonomi digital Indonesia tahun ke tahun yang sangat cepat tersebut, peran ekonomi digital terhadap PDB nasional akan semakin signifikan dari waktu ke waktu.
Perkembangan ekonomi digital nasional memang nyaris eksponensial. Hasial riset Googel dan Temasek tahun 2018 lalu masih mencatatkan nilai ekonomi digital nasional 27,2 miliar dollar AS.
Namun kecepatan pertumbuhannya nyaris tidak berubah. Dari tahun 2015 ke tahun 2018, pertumbuhan ekonomi digital Indonesia tak berubah sama sekali, masih 49 persen, setara dengan kecepatan pertumbuhan dari 2020 ke 2021.
Begitu pula dari sisi investasi, mengacu pada riset Google dan Temasek 2018, nilai investasi ekonomi digital di ASEAN meningkat, terutama Indonesia.
Pada 2015, investasi dari private equity, modal ventura, dan investor korporasi di empat sektor utama ekonomi digital mencapai 1,1 miliar dollar AS.
Di 2016, nilainya naik lebih dari empat kali jadi 4,7 miliar dollar AS, kemudian 2017 menjadi 9,4 miliar dollar AS.
Di semester I 2018 nilainya 9,1 miliar dollar AS, naik 2,5 kali lipat dari periode sama 2017. Setengah nilai investasi 2018 masuk transportasi online dan pengantaran makanan, 30 persen ke perdagangan online.
Saya sendiri berkeyakinan dan sangat optimistis bahwa dalam lima tahun ke depan, ekonomi digital nasional Indonesia akan unjuk gigi pada PDB Indonesia.
Dengan kata lain, dengan proyeksi yang sangat menggiurkan tersebut, di satu sisi pemerintah memang harus hati-hati menyikapi berbagai disrupsi yang disebabkan oleh munculnya startup-startup berbasiskan teknologi tinggi dan yang sedang berjuang membangun ekosistem ekonomi digital nasional.
Termasuk soal rencana pengenaan pajak oleh Kementerian Keuangan. Jika tak hati-hati, salah penyikapan, memberatkan, membebani pertumbuhannya, maka ribuan startup yang sudah eksis bisa menyusut, punah, dan ekosistem ekonomi digital nasional akan berantakan.
Namun di sisi lain, berkaca pada tingkat keberhasilan perusahaan rintisan di seluruh dunia, sebagaimana disebutkan di atas, Indonesia harus belajar untuk menerima bahwa 90 persenan usaha ristisan sangat berpeluang untuk gagal take off.
Dengan logika “bakar uang” untuk “mendapatkan lebih banyak uang” atau logika “memvaluasi nilai saham startup dengan menghitung mimpi masa depan sebagai kontibutor utamanya” yang mendominasi isi kepala pelaku startup nasional, otomatis seiring berjalannya waktu akan memicu gelembung startup (bubble).