Namun semua berubah sejak Pemerintah Amerika Serikat melonggarkan aturan terkait mortgage pada tahun 1990-an, dengan membuat kebijakan yang memungkinkan masyarakat dengan penghasilan rendah atau dengan credit score yang buruk bisa mengajukan pinjaman untuk membeli rumah (inilah yang disebut sub-prime mortgage).
Sub-prime mortgage ini disukai oleh bank dikarenakan menjanjikan margin profit yang lebih besar karena bunga yang dikenakan juga lebih besar.
Saat itu, aset berupa real estate dinilai memiliki risiko yang kecil karena rumah merupakan kebutuhan pokok.
Pada tahun 1990-an, harga real estate terus mengalami kenaikan karena peningkatan permintaan rumah dan besarnya investasi oleh investment bank pada produk derivatif di bidang real estate.
Mendekati tahun 2000, terjadi krisis mata uang di Asia dan dot-com bubble. Untuk mengurangi dampak ekonomi akibat krisis, The Fed menurunkan suku bunga secara drastis dari 6,5 persen ke 1 persen antara tahun 2000-2003.
Rendahnya suku bunga ini mendorong masyarakat untuk mengajukan mortgage. Alhasil, harga properti terus mengalami kenaikan dan terbentuklah bubble di sektor real estate.
The Fed yang mulai mencium adanya bubble di sektor properti, sehingga mulai menaikkan suku bunga dari 1 persen ke 5,25 persen antara tahun 2004-2006 untuk mengurangi permintaan masyarakat terhadap industri properti.
Akibat kebijakan ini, debitur mortgage (peminjam KPR) sangat terdampak, terutama yang berjenis sub-prime mortgage (karena bunga yang jauh lebih tinggi) dan adjustable-rate. Efeknya mulai banyak terjadi gagal bayar pada sub-prime mortgage.
Gagal bayar sub-prime mortgage ini berefek domino. MBS jatuh lalu diikuti dengan produk derivatif lainnya.
Investment bank yang memiliki aset harus menderita kerugian besar dan rentan bangkrut.
Lantas apakah perusahaan Startup saat ini sedang mengalami bubble burst seperti yang terjadi pada dot-com bubble maupun Real Estate Bubble?
Untuk melihat itu, harus terlebih dahulu sektor bisnis lainnya. Jika dilihat bahwa pandemi Covid-19 bukan hanya membuat perusahaan-perusahaan startup saja yang melakukan PHK.
Tetapi banyak perusahaan yang melakukan PHK baik dari sektor ritel hingga energi untuk proses efisiensi, karena kurangnya omzet saat diberlakukannya pembatasan sosial saat pandemi.
Contohnya PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk yang sempat melakukan PHK kepada 421 karyawannya sejak Januari 2020 hingga Juni 2020.
Kemudian PT. Sarana Mediatama Metropolitan sebagai pengelola jaringan rumah sakit OMNI Hospital mengungkapkan ada PHK 291 karyawan karena menurunnya jumlah pasien saat pandemi dan berdampak kepada pendapatan perusahaan.
Lebih dalam dari itu dapat dilihat berdasarkan strategi maupun alasan dilakukannya PHK oleh perusahaan startup.
Seperti yang dilakukan oleh Gojek akan fokus terhadap bisnis inti dengan menutup tiga layanan noninti, yaitu GoMassage dan GoClean, serta GoFood Festival yang berakibat 430 karyawan harus kena PHK.
Ketiga layanan tersebut termasuk dalam layanan GoLife. Keputusan ini diambil berdasarkan evaluasi atas situasi makro ekonomi dan perubahan perilaku masyarakat terkini.
Pastinya strategi ini akan membuat Gojek menjadi lebih sehat dengan fokus terhadap bisnis inti dan menghapus layanan yang tidak memberikan keuntungan pada masanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.