Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Felix Wijaya
Business Analyst

Pemerhati dan penggiat ekonomi

Bubble Burst pada Startup

Kompas.com - 14/06/2022, 13:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BELAKANGAN ini ramai gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK yang menghantam perusahaan startup di berbagai negara, termasuk di Indonesia.

Berdasarkan Platform agregator layoffs,fyi lebih dari 132.000 pekerja startup mengalami PHK sejak Maret 2020. Ini terjadi di Amerika Serikat (AS), Turki hingga Indonesia.

Jika dilihat dari jumlah PHK yang dilakukan, tertinggi pada saat pandemi Covid-19, yaitu pada Maret hingga Juni 2020 dan kembali lagi meningkat pada Mei dan Juni 2022.

Nah, ini menjadi kehebohan di dunia kerja karena pada Mei 2022, pandemi Covid-19 mulai terkendali. Perusahaan Startup dianggap telah memasuki bubble burst.

Apakah benar demikian?

Dalam perekonomian maupun investasi, kita dapat mengamati bahwa perekonomian maupun investasi memiliki siklus naik dan turun.

Hal ini terjadi karena adanya permintaan dan penawaran di pasar yang membentuk sebuah harga. Pada siklus naik dan turun ini dapat terjadi fenomena menarik, yaitu bubble and burst.

Fenomena bubble ditandai dengan kenaikan harga aset secara drastis disebabkan perilaku pasar yang tidak rasional, cenderung terlalu optimistis dan bersifat spekulatif.

Selama fenomena bubble terjadi, harga aset diperdagangkan pada harga yang relatif lebih "mahal" (overvalued) daripada nilai wajarnya.

Karena perilaku yang bersifat spekulatif inilah, di kemudian hari memungkinkan terjadinya fenomena bubble burst (gelembung pecah), sebuah fenomena yang ditandai dengan turunnya harga secara drastis dalam waktu yang singkat.

Menurut salah seorang ekonom Amerika Serikat bernama Hyman P. Minsky, ada beberapa tahap terjadinya fenomena bubble-burst dalam ekonomi:

1. Displacement

Pada fase ini terjadi adanya paradigma baru di mana investor tertarik adanya inovasi baru yang diyakini akan ramai pada masa depan (seperti internet pada tahun 1990-an dan metaverse pada saat sekarang ini).

2. Boom

Dalam tahap ini terlihat pada kenaikan harga yang cukup drastis setelah terjadinya pergeseran (displacement).

Karena banyak menarik perhatian pasar, maka akan lahir tahap booming. Pada tahap ini, aset perusahaan akan mencuri perhatian pelaku pasar dan investor.

3. Euphoria

Setelah terjadinya kenaikan harga yang cukup drastis, muncul euphoria di mana para investor mulai kurang kehati-hatiannya melakukan investasi.

Hal ini terlihat munculnya para angel investor yang berani dan siap melakukan investasi dengan uang yang cukup besar tanpa mengetahui kepastian kapan perusahaan yang diinvestasikan dapat mengalami profit.

Namun, tidak sedikit pula para investor pada fase ini mencoba untuk mengambil momen agar mendapatkan capital gain dari meningkatnya sebuah nilai investasi.

4. Profit-Taking

Setelah terjadinya euphoria karena meningkatnya harga, masuklah ke tahap Profit-Taking. Di sini para investor melakukan penjualan aset investasinya untuk mengambil keuntungan.

Para investor yang cerdas akan menangkap sinyal apabila gelembung hampir meledak.

5. Panic

Ketika gelembung sudah pecah, maka terbentuk tahap panik. Harga aset yang tadinya sudah over valuaded akan menukik tajam. Para investor harus berhadapan dengan jatuhnya nilai kepemilikan aset.

Mereka akan segera berlomba mencairkan aset dengan harga berapa pun, sebelum menjadi penurunan aset yang lebih dalam.

Sejarah bubble burst pernah terjadi, antara lain:

1. Dot-com Bubble Burst (1990-2000)

Pada tahun 1990-an, dot-com Bubble Burst dapat dibilang salah satu peristiwa crash pasar saham terparah dalam sejarah Amerika Serikat.

Ketika internet mulai berkembang (booming) pesat di Amerika Serikat pada pertengahan 1990-an, mulai muncul banyak perusahaan teknologi yang memanfaatkan internet.

Saat itu banyak perusahaan yang didirikan karena hype saja. Alhasil, rata-rata perusahaan yang IPO berjenis penny stocks dengan fundamental yang tidak terlalu baik, seperti: Pets.com, Webvan, Boo.com, Worldcom, NorthPoint Communications, Global Crossing, dll.

Hanya dalam kurun waktu tahun 1995-2000 saja, indeks NASDAQ (indeks yang berisi saham perusahaan teknologi di USA), telah meningkat 400ngan PER indeks di 200x.

Kenaikan yang begitu masif ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti: investasi besar-besaran oleh venture capital (pendanaan startup) dan tingginya minat investor ritel untuk membeli saham perusahaan teknologi walaupun secara valuasi sudah mahal.

Pada 10 Maret 2000, NASDAQ mencapai puncaknya pada 5,048.62. Pada saat bersamaan kondisi ekonomi global juga memburuk karena terjadi krisis finansial di Asia yang dimulai dari Jepang mengalami resesi.

Banyak pemberitaan mengenai perusahaan teknologi yang mulai mengalami kesulitan finansial.

Kondisi ini memicu aksi jual besar-besaran pada aset saham. Indeks NASDAQ memasuki posisi bearish hingga tahun 2002.

Pada 9 Oktober 2002, NASDAQ menyentuh titik terendahnya di 1,114. NASDAQ telah kehilangan 78ri kondisi puncak dan kehilangan kapitalisasi pasar hingga mencapai 5 triliun dollar AS.

2. Real Estate Bubble Burst (2000-2008)

Pemerintah Amerika Serikat tahun 1970-an berupaya meningkatkan kepemilikan rumah untuk masyarakat dengan mengadopsi sistem house ownership dari Inggris yang disebut mortgage (jika di Indonesia sama dengan KPR).

Pemerintah melalui Ginnie Mae, Fannie Mae, Freddie Mac mengeluarkan produk derivatif bernama Mortgage-Backed Securities (MBS).

MBS merupakan KPR dari berbagai bank yang telah disatukan dan dijual ke investor (baik ritel maupun institusi).

Awalnya, MBS dinilai aman karena yang bisa mengajukan pinjaman ke bank memang hanya peminjam yang qualified (prime mortgage).

Namun semua berubah sejak Pemerintah Amerika Serikat melonggarkan aturan terkait mortgage pada tahun 1990-an, dengan membuat kebijakan yang memungkinkan masyarakat dengan penghasilan rendah atau dengan credit score yang buruk bisa mengajukan pinjaman untuk membeli rumah (inilah yang disebut sub-prime mortgage).

Sub-prime mortgage ini disukai oleh bank dikarenakan menjanjikan margin profit yang lebih besar karena bunga yang dikenakan juga lebih besar.

Saat itu, aset berupa real estate dinilai memiliki risiko yang kecil karena rumah merupakan kebutuhan pokok.

Pada tahun 1990-an, harga real estate terus mengalami kenaikan karena peningkatan permintaan rumah dan besarnya investasi oleh investment bank pada produk derivatif di bidang real estate.

Mendekati tahun 2000, terjadi krisis mata uang di Asia dan dot-com bubble. Untuk mengurangi dampak ekonomi akibat krisis, The Fed menurunkan suku bunga secara drastis dari 6,5 persen ke 1 persen antara tahun 2000-2003.

Rendahnya suku bunga ini mendorong masyarakat untuk mengajukan mortgage. Alhasil, harga properti terus mengalami kenaikan dan terbentuklah bubble di sektor real estate.

The Fed yang mulai mencium adanya bubble di sektor properti, sehingga mulai menaikkan suku bunga dari 1 persen ke 5,25 persen antara tahun 2004-2006 untuk mengurangi permintaan masyarakat terhadap industri properti.

Akibat kebijakan ini, debitur mortgage (peminjam KPR) sangat terdampak, terutama yang berjenis sub-prime mortgage (karena bunga yang jauh lebih tinggi) dan adjustable-rate. Efeknya mulai banyak terjadi gagal bayar pada sub-prime mortgage.

Gagal bayar sub-prime mortgage ini berefek domino. MBS jatuh lalu diikuti dengan produk derivatif lainnya.

Investment bank yang memiliki aset harus menderita kerugian besar dan rentan bangkrut.

Lantas apakah perusahaan Startup saat ini sedang mengalami bubble burst seperti yang terjadi pada dot-com bubble maupun Real Estate Bubble?

Untuk melihat itu, harus terlebih dahulu sektor bisnis lainnya. Jika dilihat bahwa pandemi Covid-19 bukan hanya membuat perusahaan-perusahaan startup saja yang melakukan PHK.

Tetapi banyak perusahaan yang melakukan PHK baik dari sektor ritel hingga energi untuk proses efisiensi, karena kurangnya omzet saat diberlakukannya pembatasan sosial saat pandemi.

Contohnya PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk yang sempat melakukan PHK kepada 421 karyawannya sejak Januari 2020 hingga Juni 2020.

Kemudian PT. Sarana Mediatama Metropolitan sebagai pengelola jaringan rumah sakit OMNI Hospital mengungkapkan ada PHK 291 karyawan karena menurunnya jumlah pasien saat pandemi dan berdampak kepada pendapatan perusahaan.

Lebih dalam dari itu dapat dilihat berdasarkan strategi maupun alasan dilakukannya PHK oleh perusahaan startup.

Seperti yang dilakukan oleh Gojek akan fokus terhadap bisnis inti dengan menutup tiga layanan noninti, yaitu GoMassage dan GoClean, serta GoFood Festival yang berakibat 430 karyawan harus kena PHK.

Ketiga layanan tersebut termasuk dalam layanan GoLife. Keputusan ini diambil berdasarkan evaluasi atas situasi makro ekonomi dan perubahan perilaku masyarakat terkini.

Pastinya strategi ini akan membuat Gojek menjadi lebih sehat dengan fokus terhadap bisnis inti dan menghapus layanan yang tidak memberikan keuntungan pada masanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com