Oligarki telah terbentuk dan dibesarkan oleh Orde Baru yang merentang dari Istana hingga ke tingkat daerah (Hadiz & Robison, 2004).
Selama ini oligarki predator hidup dari praktik mencari rente, mendapatkan fasilitas dan proteksi negara serta berbagai macam korupsi.
Ketika Soeharto tumbang, sesungguhnya yang pergi hanya Soeharto, sementara oligarki masih tetap utuh.
Di sisi lain, elite politik lokal membutuhkan dukungan dari oligarki untuk memastikan kepentingan mereka tidak terganggu.
Elite politik lokal di Indonesia sangat tergantung pada anggaran publik yang diatur dengan sangat ketat pascareformasi.
Penguasaan elite lokal atas politik tidak akan ada artinya bila mereka dibatasi oleh aturan-aturan yang ketat untuk mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya publik di tingkat lokal yang sangat penting untuk mempertahankan basis dukungan politik.
Mereka tidak segan bekerjasama dengan pebisnis untuk meningkatkan pundi-pundi. Pemberian izin usaha pada perkebunan maupun tambang di sejumlah titik di negeri ini sudah cukup menjadi saksi.
Transparency International dalam penelitiannya pernah menemukan sekitar 3.000 eksekutif perusahaan di 28 negara yang dikategorikan maju secara ekonomi, termasuk Indonesia.
Bahkan, semua negara yang tergabung dalam G-20 dilibatkan dalam survei. Perusahaan di negara ini dikategorikan paling sering melakukan praktik suap demi kelancaran bisnisnya.
Sektor terkorup juga datang berkaitan dengan pekerjaan umum dan konstruksi.
Usaha memutus ”rantai” kolusi antara kepentingan pengusaha dan kewenangan yang melekat pada pejabat publik harus disikat.
Terutama pada sektor penegakan hukum jika terjadi praktik suap-menyuap oleh pengusaha terhadap pejabat publik mana pun.
Akan sangat sulit memberantas praktik ini jika penegak hukum cenderung memperlemah upaya penegakan hukum, melemahkan dakwaan, tuntutan, dan pada akhirnya berbuah vonis ringan atau bahkan bebas dari tuntutan hukum.
Sebuah fakta kooptasi dan penghisapan negara oleh elite kapital berhasil dipetakan oleh survei Business Environment and Enterprise Performance Survey (BEEPS) yang dilakukan Bank Dunia dan European Bank for Reconstruction and Development (EBRD).
Survei BEEPS membagi relasi perusahaan dan negara dalam tiga bentuk. Pertama, state capture atau pemberian suap kepada pejabat publik/pengambil keputusan untuk memengaruhi pembuatan UU dan peraturan.