Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Insight Kompas
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

The Fed Agresif Naikkan Suku Bunga Acuan, Respons Pasar, dan Dampaknya bagi Indonesia

Kompas.com - 16/06/2022, 08:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"Soal timing saja BI rate akan naik. Agresif atau enggak kenaikannya, tergantung reaksi pasar. Kalau outflow tidak terlalu tinggi, (kenaikannya) moderat. Kalau pasar panik, bisa agresif juga kenaikannya," ungkap Dradjad.

Menurut Dradjad, sebelum kepastian The Fed menaikkan suku bunga acuan pun sebenarnya pasar sudah terkoreksi. Namun efek setelah ada kepastian The Fed belum terpantau sepenuhnya.

Meski demikian, imbuh Dradjad, pasar sejauh ini masih bertaruh pada proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tetap tinggi pada 2022 untuk tetap bertahan. Buat catatan, ketika arus kas berbalik arah maka nilai tukar mata uang pun bersiap ikut bergerak.

Berdasarkan data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) di Bank Indonesia periode Juni 2022 yang diunggah pada 15 Juni 2022, utang luar negeri Indonesia hingga April 2022 tercatat sebesar 409,464 miliar dollar AS. Dengan kurs Rp 14.746 per dollar AS, nilai utang ini setara dengan sekitar Rp 6.038 triliun.

Posisi utang luar negeri hingga April 2022 itu turun dibanding data hingga Maret 2022 yang tercatat senilai 412,074 miliar dollar AS. Penurunan utang luar negeri Indonesia pada April 2022 lebih banyak disumbang oleh berkurangnya total utang luar negeri pemerintah dan bank sentral.

Dari total utang luar negeri senilai 409,464 miliar dollar AS itu, utang pemerintah dan bank sentral—kerap disebut sebagai utang sektor publik—tercatat 199,237 miliar dollar AS, dengan utang pemerintah saja tercatat 190,547 miliar dollar AS. 

Utang pemerintah pada April 2022 turun hampir 6 miliar dollar AS dibanding sebulan sebelumnya yang tercatat senilai 196,247 miliar dollar AS. Penurunan ini karena sebagian surat berharga negara (SBN) telah jatuh tempo dan ada pengalihan penempatan dana oleh investor non-residen. 

Dari komponen utang, BI mencatat ada penurunan penarikan pinjaman pemerintah seturut susutnya kebutuhan untuk pembiayaan program dan proyek prioritas. Menurut BI, secara keseluruhan utang pemerintah masih aman karena 99,96 persen total utang itu merupakan utang jangka panjang. 

Sebaliknya, utang luar negeri swasta hingga April 2022 tercatat naik menjadi 210,227 miliar dollar AS, dari sebelumnya 206,914 miliar dollar AS pada Maret 2022. Peningkatan disumbang oleh kenaikan utang luar negeri dari perusahan non-lembaga keuangan, terutama seturut peneribitan global bond perusahaan di sektor pertambangan dan penggalian. 

Sebelumnya, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 24 Mei 2022 menetapkan mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25 persen.

Suku bunga acuan BI7DRR dipatok 3,5 persen sejak 18 Februari 2021. Di tengah pandemi, BI menurunkan suku bunga acuan itu sebesar 25 basis poin dari posisi 3,75 persen yang menjadi acuan sejak 19 November 2020.

Terhitung sejak 20 Februari 2020 hingga 24 Mei 2022, BI telah enam kali menurunkan suku bunga acuan BI7DRR, dari sebelumnya di posisi 5 persen sebagai hasil RDG BI pada 23 Januari 2020.

Pada pengujung 2021, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan posisi BI7DRR akan dipertahankan di posisi 3,5 persen sampai ada indikasi kuat inflasi telah terjadi lagi. 

Baca juga: Gubernur BI: Suku Bunga 3,5 Persen Akan Dipertahankan sampai…

Menyikapi itu, Dradjad berpendapat Indonesia tidak akan masuk area stagflasi atau inflasi yang tertahan laiknya sejumlah negara lain. Menurut dia, Indonesia baru mulai membuka pembatasan pergerakan terkait pandemi Covid-19.

"Seperti orang puasa lalu dibolehkan makan apa saja, pelonggaran pembatasan sekarang juga akan begitu. Konsumsi rumah tangga akan tinggi. Inflasi akan naik," kata Dradjad.

Konsumsi tinggi rumah tangga memang selalu disambut positif dalam perspektif pertumbuhan ekonomi. Namun, kata Dradjad, situasi kali ini terjadi berbarengan dengan lonjakan harga-harga terkait kondisi geopolitik global dan masih di tengah upaya pemulihan pasokan yang terhambat selama pandemi. 

"Stagflasi tidak akan terjadi lagi di Indonesia. Pertumbuhan baru mulai karena pergerakan baru dibuka lagi. Stagflasi hanya untuk yang sudah lebih dahulu membuka pergerakan orang. Inflasi jelas akan terjadi di Indonesia," prediksi Dradjad.

Tantangan perekonomian Indonesia masih akan ngeri-ngeri sedap.

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com