Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Menguji Klaim Keberhasilan Program Kartu Prakerja

Kompas.com - 20/06/2022, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENTERI Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam acara Temu Raya Alumni Program Kartu Prakerja bersama Presiden RI Joko Widodo, yang dilaksanakan Hybrid, di Sentul International Convention Centre, Bogor, Jumat (17/6/2022), sesumbar bahwa program kartu Prakerja berhasil.

Bahkan, menurut beliau, program kartu Prakerja akan dipelajari lebih lanjut dan direplikasi oleh Belanda karena dianggap sebagai program "Government to People" yang paling masif dibanding yang pernah ada di negara lain.

Sebelum membahas lebih dalam, saya akan membahas sedikit soal istilah program "Government to People," atau G to P.

Semoga masyarakat Indonesia tidak terlalu pusing dan bingung dengan istilah-istilah semacam itu.

Dari pemilihan katanya saja sudah bisa ditebak artinya sama dengan program pemerintah lainya yang penggunaan anggarannya dimaksudkan untuk masyarakat.

Terkadang memang terkesan “keren” karena menggunakan istilah seperti itu. Namun lagi-lagi intinya sama saja seperti program untuk segmen masyarakat tertentu yang lainya, cara dan modelnya saja yang berbeda.

Begitulah. Bahasa ekonomi memang acapkali dibungkus dengan istilah-istilah yang kesannya keren.

Boleh jadi agar terlihat keren, atau boleh jadi juga agar masyarakat pusing dan malas memikirkannya lebih dalam alias “apriori.”

Saya ingat kata-kata seorang ekonom dari Cambridge University, Ha-Joon Chang, "95 percent of economics is common sense- made to look difficult, with the use of jargons and mathematics."

Jadi abaikan saja istilah-istilah yang sebenarnya tak lebih dari jargon semata agar publik tetap fokus untuk memahami dan mengawasinya

Baiklah, kita kembali ke topik dasar. Ada beberapa point penting yang saya catat dari cerita Airlangga di acara temu alumni itu, selain urusan jargon program "Government to People" alias G to P itu.

Misalnya, sampai gelombang ke-32 sudah lebih dari 12,8 juta penerima manfaat kartu Prakerja, yang tersebar di 514 kabupaten/kota se-Indonesia, dan 95 persen telah menerima insentif.

Menurut Airlangga, "dari yang mengikuti prakerja, 30 persen yang sebelumnya menganggur kini telah bekerja atau berwirausaha, dan 90 persen itu peningkatan kompetensi produktivitas dan meningkatkan daya saing.”

Ia menambahkan,"66 persen menggunakan sertifikasi prakerja untuk mendapatkan pekerjaan, 27 persen dari penerima belum pernah punya rekening, Bapak Presiden, tetapi 27 persen Itu memilih menggunakan e-wallet, sehingga ini menjadi bagian dari program inklusi keuangan."

"Dari bantuan dana yang diberikan Rp 600.000 untuk 4 bulan, 92 persen untuk membeli pangan dan 70 persen untuk modal usaha,” kata Airlangga.

Mari kita lihat perbandingannya dengan data yang ada. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran di Indonesia ada sebanyak 9,1 juta orang per Agustus 2021.

Jumlah itu turun sekitar 670.000 orang dari posisi per Agustus 2020 yang mencapai 9,77 juta orang.

Jadi setahun setelah program Kartu Prakerja digulirkan, data pengangguran memang menunjukan penurunan, yakni turun 670.000.

Tapi angka tersebut tak berbeda jauh dengan angka penurunan pengangguran natural yang terjadi di tahun-tahun sebelum pandemik.

Kemudian, pada Februari 2022, BPS melaporkan jumlah pengangguran di Indonesia tercatat sebanyak 8,40 juta orang, alias turun sekitar 350.000 orang dari posisi per Februari 2021 yang mencapai 8,75 juta orang dan 700.000 orang dibanding Agustus tahun 2020.

Menurut BPS ketika itu, penurunan tersebut sejalan dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) secara nasional yang turun dari 6,26 persen pada Februari 2021 menjadi sebesar 5,83 persen pada Februari 2022. Atau turun sebesar 0,43 persen dibandingkan dengan Februari 2021.

Dengan kata lain, dari Agustus 2020 ke Februari 2022, pengangguran turun sekitar 1.370.000 orang (saya menganggap BPS sudah menyesuaikannya dengan penambahan angkatan kerja setiap tahun yang rata-rata 3-4 juta).

Sementara Airlangga mengatakan, 30 persen dari pengguna kartu Prakerja yang sebelumnya menganggur kini sudah bekerja atau berwirausaha (alias tidak menganggur lagi).

Angka 30 persen dari total pengguna kartu Prakerja yang 12,8 juta berarti sekitar 4 jutaan. Artinya, ada 4 juta pengguna kartu Prakerja yang sebelumnya menganggur sudah bekerja atau berwirausaha alias tidak lagi mengganggur.

Jika kita berpatokan pada data pengangguran BPS di Agustus 2020 sebesar 9,77 juta orang, maka secara pukul rata akan menjadi 5,7 jutaan pengangguran di Februari 2022.

Mengapa? Karena dikurangi dengan 30 persen perserta kartu Prakerja, sebagaimana diklaim Airlangga (sekitar 4 jutaan, 30 persen dari 12,8 juta).

Tapi ternyata BPS mengumumkan pada Februari 2022 bahwa penggangguran turun menjadi 8,40 juta orang dari 9,77 juta di Agustus 2020. Plus minus hanya turun 1,3 jutaan.

Boleh jadi angkanya tidak persis seperti itu karena di sini saya menggunakan kalkulasi sederhana saja, membandingkan klaim Airlangga yang mengatakan 30 persen peserta kartu Prakerja yang awalnya menganggur sudah kembali bekerja atau berwirausaha alias tidak lagi mengganggur.

Sehingga saya membandingkannya dengan perubahan angka pengangguran dari tahun 2020 sampai 2022.

Ada faktor angkatan kerja baru yang memang perlu dihitung. Meski demikian, di sisi lain ada pula faktor 70 persen peserta kartu Prakerja yang disebutkan Airlangga, sekitar 8 jutaan, sebagiannya belum mendapatkan pekerjaan atau baru sekadar mendapatkan tambahan skill (sertifikat).

Meminjam istilah Airlangga, "66 persen menggunakan sertifikasi prakerja untuk mendapatkan pekerjaan" alias baru mendapatkan sertifikat dari program Prakerja.

Jadi saya anggap impas dan saya berasumsi bahwa angka 30 persen dari Airlangga nampaknya kurang sepadan dengan angka pengurangan pengangguran dari BPS.

Untuk memperjelasnya, mari kita lihat dari sisi yang lebih luas, yakni data angkatan kerja, penyerapan kerja, dan angka partisipasi kerja, yang telah memasukan pertambahan angkatan kerja per tahun.

Berdasarkan data BPS, angka angkatan kerja nasional pada Februari 2020 adalah 140,22 juta dari angka perduduk berumur kerja (PUK) 202,60 juta.

Dari angka itu, penduduk yang bekerja tercatat sebesar 133,29 juta. Kemudian, pada Februari 2021, angkatan kerja turun menjadi 139,31 juta dari seluruh penduduk berumur kerja yang naik menjadi sebesar 205,36 juta.

Dari angka itu, penduduk yang bekerja di Februari 2021 turun lagi menjadi 131, 06 juta.

Dan pada Februari 2022, angkatan kerja naik menjadi 144,01 juta dari seluruh penduduk berumur kerja yang tercatat juga naik menjadi 208,54 juta.

Dari angka itu, penduduk yang bekerja di Februari 2022 naik menjadi 135,61 juta. Kemudian secara persentase partisipasi kerja, dari data BPS, angka partisipasi kerja belum menunjukan perbaikan dibanding masa prapandemik.

Pada Februari 2020, angka partisapasi kerja tercatat 69,21 persen. Lalu turun menjadi 68,08 persen di Februari 2021 dan kembali naik menjadi 69,06 di Februari 2022.

Serta tak lupa, dari total angkatan kerja sampai Februari 2022, sebanyak 59 persen adalah pekerja di sektor informal.

Jadi dari data tersebut terlihat bahwa perubahan angka angkatan kerja yang bekerja dari Februari 2020 ke Februari 2020 hanya 2,32 juta (135,61 juta dikurangi 133,29 juta).

Begitu pula dengan persentasi partisipasi kerja dari Februari tahun 2020 ke Februari 2022. Persentasenya bahkan belum kembali ke angka sebelum masa pandemik.

Pada Februari 2022, angka partisipasi kerja masih berada di level 69,06 persen, masih di bawah angka partisipasi kerja pada Februari 2020 yang tercatat 69,21 persen.

Jadi pendeknya, baik dari perubahan data pengangguran maupun dari data angkatan kerja yang bekerja, masih belum terdapat kecocokan dengan data keberhasilan kartu prakerja yang diklaim Airlangga Hartarto.

Lalu selanjutnya soal kepemilikan rekening bank dan pendaftaran e-money. Menurut Airlangga, "27 persen dari penerima belum pernah punya rekening, Bapak Presiden, tetapi 27 persen itu memilih menggunakan e-wallet, sehingga ini menjadi bagian dari program inklusi keuangan."

Artinya kartu Prakerja berhasil membantu 30 persen pengangguran yang mendaftar kartu Prakerja mendapatkan pekerjaan atau berwirausaha dan berhasil membuat 27 persennya yang sama sekali belum punya rekening bank mendaftar sebagai pengguna salah satu aplikasi ewallet.

Jadi keberhasilan kartu prakerja dalam menjual aplikasi milik start up dan korporasi bahkan mendekati keberhasilan dalam mendapatkan pekerjaan atau membantu berwirausaha yang diklaim 30 persenan.

Boleh jadi memang intinya untuk membangun ekosistem, seperti kata beliau. Ya, ekosistem yang dibangun dengan dana Rp 1 juta per orang untuk membeli video dan lainya dari total sekitar 3,5 juta per orang.

Arti lainya, satu juta rupiah digunakan untuk membantu perusahaan aplikasi belajar atau aplikasi fintech (e-money) memasarkan aplikasinya berserta konten-kontennya kepada 12,8 jutaan angkatan kerja.

Dalam bahasa Airlangga, hasil tersebut berdampak positif pada inklusi keuangan. Dengan kata lain, 27 persen dari peserta yang sama sekali belum memiliki rekening akhirnya punya rekening ewallet.

OJK yang semestinya paling bertanggung jawab soal inklusi keuangan, semestinya iri karena kartu prakerja jauh melampau hasil program inklusi keuangan dari OJK.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com