Transisi LIBOR telah menjadi faktor pendorong untuk mengembangkan benchmark rate syariah alternatif yang dapat menghindari ketergantungan pada tolok ukur konvensional berbasis bunga.
Malaysia, misalnya, berhasil menerbitkan Malaysia Islamic Overnight Rate (MYOR-i) yang merupakan suku bunga acuan Islam berbasis transaksi pertama di dunia, menggantikan Kuala Lumpur Islamic Reference Rate (KLIRR) yang telah dihentikan mulai 25 Maret 2022.
Tak hanya itu, Islamic Development Bank (IsDB) juga berhasil menerbitkan sukuk berbasis Secured Financed Overnight Rate (SOFR), sebuah perkembangan yang signifikan karena sebagian besar sukuk saat ini terkait dengan London Interbank Offer Rate (LIBOR) atau suku bunga acuan serupa.
Bahkan jauh sebelum itu, Islamic Interbank Benchmark Rate (IIBR) sempat menjadi satu-satunya benchmark rate syariah internasional yang diperkenalkan sejak tahun 2011 oleh Thomson Reuters, Islamic Development Bank (IsDB), dan AAOIFI.
Meskipun IIBR tidak berhasil diadopsi secara luas oleh semua bank syariah di dunia karena dianggap mirip dengan LIBOR, setidaknya IIBR memberikan titik awal yang baik, dan pelajaran berharga untuk industri keuangan syariah mampu memiliki benchmark rate secara independen.
Standardisasi benchmark rate syariah akan memperkuat ekosistem keuangan syariah secara holistik dan transparan sehingga akan memperdalam pasar keuangan syariah dalam negeri dan meningkatkan perannya dalam membiayai kegiatan ekonomi riil masyarakat.
Duffie dan Stein (2015) mengatakan bahwa reformasi benchmark rate syariah untuk transaksi antarbank atau transaksi keuangan lainnya, harus memenuh dua prinsip.
Benchmark harus didasarkan pada transaksi yang sebenarnya, bukan pada berdasarkan asumsi dan spekulasi pelaku pasar.
Selain itu, tolok ukur penetapan harga keuangan syariah juga harus didasarkan pada profil risiko usaha ekonomi riil, sehingga ia harus dikaitkan dengan produktivitas dan profitabilitas aset.
Reformasi benchmark rate syariah akan tercermin dalam suku bunga acuan dan model bisnis syariah ke depan, maka perlu langkah-langkah transformatif untuk mewujudkan benchmark rate syariah agar menjadi acuan transaksi keuangan syariah baik dalam negeri maupun internasional.
Pertama, transparansi harus menjadi prioritas utama dalam membangun benchmark rate baru, sebab tujuan akhir dari benchmark rate syariah adalah untuk terwujudnya sistem keuangan syariah yang adil serta mengurangi potensi konflik dalam sistem keuangan syariah.
Skandal dan manipulasi dalam penetapan acuan transaksi keuangan hanya akan merusak kepercayaan pasar.
Kedua, memperkuat transaksi rill melalui evaluasi manajemen likuiditas bank syariah. Pasar uang antarbank mendorong dalam memaksimalkan biaya peluang untuk uang menganggur (idle money), yang membenarkan konsep bunga atas uang.
Biasanya bank mengelola likuiditas menganggur mereka dengan meminjamkan ke bank lain untuk mendapatkan bunga. Tingkat LIBOR menentukan jumlah bunga untuk pinjaman antarbank.
Sebaliknya, keuangan syariah tidak memiliki pandangan yang sama tentang biaya peluang uang menganggur.