JAKARTA, KOMPAS.com - Bank Dunia (World Bank) memproyeksikan subsidi energi yang digelontorkan pemerintah untuk Pertamina dan PLN meningkat menjadi 1,5 persen dari PDB pada tahun 2022.
Angka ini lebih besar dari besaran subsidi ke dua BUMN tersebut pada tahun 2021, yakni sebesar 0,7 persen dari PDB. Hal ini diungkap dalam laporan terbarunya, Indonesia Economic Propects dengan judul Financial Deepening for Stronger Growth and Sustainable Recovery.
Sementara itu, subsidi energi eksplisit diproyeksikan meningkat dari 0,8 persen menjadi 1,1 persen dari PDB pada tahun 2021 hingga tahun 2022.
"Subsidi implisit yang dibayarkan kepada PLN dan Pertamina sebagai kompensasi atas penjualan listrik dan bahan bakar minyak di bawah harga pasar, diproyeksi meningkat dari 0,7 persen menjadi 1,5 persen," tulis Bank Dunia dalam laporan terbarunya dikutip Kompas.com, Kamis (23/6/2022).
Baca juga: Bank Dunia Proyeksi Ekonomi Indonesia 2022 Tumbuh 5,1 Persen
Adapun subsidi dan kompensasi yang diberi pemerintah dihitung berdasarkan selisih antara harga jual eceran (HJE) dengan harga keekonomian.
HJE Pertalite yang berlaku saat ini sebesar Rp 7.650 per liter, sementara harga keekonomian Rp 12.556 per liter dengan asumsi harga minyak mentah di kisaran 100 dollar AS per barrel.
Bank Dunia juga menyoroti bengkaknya subsidi energi dan listrik tersebut banyak dinikmati oleh masyarakat golongan atas. Padahal seharusnya, subsidi ini dinikmati oleh masyarakat kecil.
Berdasarkan laporan, rumah tangga kalangan menengah atas mengonsumsi antara 42 - 73 persen solar bersubsidi dan 5-29 persen LPG bersubsidi.
"Subsidi ini sebagian besar menguntungkan rumah tangga kalangan menengah dan atas. Jika kedua subsidi ini dihilangkan, maka bisa menghemat 1 persen dari PDB pada harga tahun 2022," sebut Bank Dunia.
Baca juga: Jokowi Minta Semua Waspada: Ancaman Krisis Pangan dan Energi Terjadi di Semua Negara...
Lebih lanjut Bank Dunia menyebut, subsidi itu bisa diganti dengan bantuan sosial yang lebih memiliki target untuk masyarakat miskin, rentan, dan kalangan calon kelas menengah dengan biaya lebih murah, yakni 0,5 persen dari PDB.
Maka, pemerintah mendapat penghematan tambahan fiskal bersih sebesar 0,6 persen dari PDB.
Selain itu sementara subsidi energi dapat menahan inflasi karena adanya dorongan biaya (cost-push inflation) dalam jangka pendek mengingat harga komoditas tetap stabil, kebijakan subsidi ini tidak akan berkelanjutan secara jangka panjang.
"Dengan demikian, harus ada alasan yang kuat mengenai perlunya rencana keluar dari subsidi energi tinggi melalui transmisi harga (passthrough) secara bertahap dan beralih ke subsidi yang ditargetkan untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan," sebut Bank Dunia.
Baca juga: Jokowi Sentil PLN dan Pertamina: Ada Subsidi, Tanpa Ada Usaha Efisiensi, Kok Enak Banget
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.