Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Juky Mariska

Bergabung dengan OCBC NISP sejak tahun 2014 dan kini menjabat sebagai Executive Vice President, Wealth Management Head

Bayangan Stagflasi Ekonomi Dunia

Kompas.com - 24/06/2022, 15:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MEMASUKI pertengahan tahun, Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia dari semula 4.1 persen, kini menjadi 2.9 persen.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi secara global, dilandasi dengan tingginya angka inflasi yang semakin tak terkendali, khususnya Amerika Serikat (AS) yang sudah merilis data inflasi tahunan per bulan Mei lalu yang tercatat naik ke 8.6 persen, menembus level tertingginya pada bulan Maret lalu, sekaligus merupakan titik baru capaian inflasi tertinggi sepanjang 4 dekade terakhir.

Kenaikan inflasi ini mendorong kembalinya inversi kurva imbal hasil atau inverted yield curve obligasi pemerintah AS (US Treasury).

Kondisi inverted yield curve ini terjadi akibat meningkatnya ekspektasi inflasi dalam jangka pendek, namun akan turun dalam jangka menengah hingga panjang. Di masa lalu, kondisi ini seringkali menjadi leading indicator akan potensi terjadinya resesi dalam 6 hingga 24 bulan berikutnya. Maka, hal ini mendesak bank sentral AS, The Fed, untuk menaikkan suku bunga acuan secara lebih agresif 75 basis poin, yang menjadikan suku bunga acuan The Fed saat ini berada pada level 1,75 persen.

Tingginya laju inflasi ini juga dialami oleh beberapa negara maju lainnya, seperti di Eropa dan Inggris. Laju inflasi yang terlalu tinggi dikhawatirkan akan menurunkan permintaan dan menurunkan pertumbuhan ekonomi, suatu kondisi ekonomi yang langka dan disebut sebagai stagflasi.

Sebagai catatan, stagflasi atau stagflation berasal dari kata stagnation dan inflation. Stagflasi pada ekonomi menimbulkan dilema bagi para pembuat kebijakan. Hal ini disebabkan, pelonggaran kebijakan moneter atau pemangkasan suku bunga yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, akan mengakibatkan inflasi semakin meningkat.

Baca juga: Stagflasi: Apa Itu Stagflasi, Penyebab, dan Contohnya

Sebaliknya, menaikkan suku bunga untuk mengatasi laju inflasi, akan berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi. Pada era stagflasi di tahun 1970-an, para pembuat kebijakan di AS menaikkan suku bunga hingga double digit untuk mengatasi inflasi, namun hal ini mendorong ekonomi terpuruk di jurang resesi.

Oleh karena itu, kekhawatiran akan stagflasi ini mendorong spekulasi para pelaku pasar bahwa resesi sudah di ambang pintu, sehingga pasar saham global pun memasuki tren bearish.

Akan tetapi, hasil survei yang dihimpun oleh Bloomberg terhadap sejumlah analis terkait potensi terjadinya resesi masih berada pada kisaran 31,5 persen. Rendahnya probabilitas ini dikarenakan adanya beberapa indikator ekonomi yang masih cukup baik, termasuk angka pengangguran yang masih relatif rendah, dan aktivitas manufaktur dan jasa yang masih menunjukkan ekspansi.

Salah satu penyebab stagflasi adalah ketidakmampuan produsen untuk memenuhi permintaan, sehingga harga barang naik tajam. Konflik geopolitik Rusia – Ukraina serta kebijakan Zero Covid Policy di China telah mengganggu ketersediaan sejumlah komoditas global dan rantai pasokan bahan baku dan barang jadi.

Akan tetapi, tren penurunan jumlah kasus harian Covid di China membuat pemerintah mulai membuka lockdown dan melonggarkan kebijakan pembatasan sosial di beberapa kota. Hal ini disambut positif oleh pelaku pasar regional dan global. Tak hanya itu, pembuat kebijakan di China juga baru saja memberikan ijin terhadap 60 online games baru.

Pelaku pasar menilai pelonggaran kebijakan tersebut sebagai tanda bahwa China akan mengakhiri intervensi terhadap perusahaan teknologi. Beberapa indikator ekonomi China juga mulai membaik seperti kenaikan ekspor, kenaikan aktivitas manufaktur serta level inflasi yang relatif stabil di kisaran 2,1 persen pada bulan Mei.

Tak hanya China yang memiliki inflasi relatif rendah, Indonesia juga terlihat cukup resilient dari badai inflasi. Kenaikan harga komoditas dunia justru mendorong penerimaan negara dan mendorong pemulihan ekonomi.

Baca juga: Mengupas Dampak Kenaikan Suku Bunga The Fed ke Pasar Modal Indonesia

Di saat yang sama krisis energi mendorong kenaikan bahan bakar dan tarif listrik, sehingga inflasi mulai naik secara perlahan. Akan tetapi, bank sentral belum mengambil langkah untuk menaikkan suku bunga.

Bank Indonesia memutuskan untuk menyerap likuiditas pasar melalui kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) secara bertahap mulai bulan Juni hingga mencapai 9 persen di bulan September, sebelum mulai menaikkan suku bunga. Pasalnya, kenaikan suku bunga yang terlalu cepat dikhawatirkan akan mengerem laju pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung.

Namun, tetap saja, potensi kenaikan suku bunga dalam negeri di semester kedua ini sulit untuk dihindari dengan kenaikan inflasi Indonesia yang meskipun terkendali, tetapi ada potensi kenaikan pada kisaran 4 persen.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com