Berkaitan dengan hal tersebut, ungkap Febrio, pemerintah tengah menyiapkan pula aturan teknis dari Perpres Nomor 98 Tahun 2021. Dalam hal ini, aturan turunan tersebut mencakup tata laksana penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK) dan nationally determined contributions (NDC) di Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) dan Komite Pengarah Nilai Ekonomi Karbon di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
“Isu iklim merupakan isu lintas sektor. Koordinasi akan terus kami jaga dan perkuat agar peraturan yang melengkapi satu sama lain dapat mengoptimalisasi upaya pemerintah dalam mengendalikan perubahan iklim,” kata Febrio.
Baca juga: Apakah Pajak Karbon Juga Sasar Konsumen?
Febrio menegaskan bahwa penerapan pajak karbon tidak semata bertujuan menambah penerimaan APBN. Menurut dia, pajak karbon juga adalah instrumen pengendalian iklim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sesuai prinsip pencemar membayar (polluter pays principle).
“Pengenaan pajak karbon diharapkan dapat mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon,” kata Febrio
Di sisi lain, proses penyusunan peta jalan atau roadmap pajak karbon perlu memperhatikan pula peta jalan pasar karbon. Peta jalan pajak karbon diantaranya akan memuat strategi penurunan emisi karbon dalam NDC, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru terbarukan, dan keselarasan dengan peraturan lain.
“Dalam implementasinya, pemerintah akan memperhatikan transisi yang tepat agar penerapan pajak karbon ini tetap konsisten dengan momentum pemulihan ekonomi pascapandemi,” ujar Febrio.
Menurut Febrio, pengenaan pajak karbon akan dilakukan bertahap dengan memperhatikan prioritas dalam pencapaian target NDC, perkembangan pasar karbon, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi Indonesia. Tujuannya, pajak karbon di Indonesia memenuhi asas keadilan, terjangkau, dan mengutamakan kepentingan masyarakat.
“Berbagai upaya dan komitmen yang diperbarui menunjukan keseriusan pemerintah dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, kita perlu mengoptimalisasi seluruh instrumen yang ada termasuk pendanaan APBN dan swasta,” kata Febrio.
Pengumuman mengenai penundaan lagi penerapan pajak karbon disampaikan dalam Konferensi Pers APBN Edisi Juni 2022, pada Kamis (23/6/2022). Kondisi perekonomian global, termasuk situasi geopolitik seperti perang di Ukraina, menjadi pertimbangan penundaan selain persiapan regulasi yang belum tuntas juga.
"Dengan kondisi saat ini, pemerintah mempertimbangkan untuk me-review kembali pemberlakuan pajak karbon. (Namun), pajak karbon tetap ditargetkan untuk dikenakan pertama kali pada PLTU batu bara dengan mekanisme cap and tax mulai tahun 2022," papar Febrio.
Baca juga: Dua Kali Ditunda, Pemerintah Batal Terapkan Pajak Karbon per Juli 2022
Menurut Febrio, peraturan pendukung pemberlakuan pajak karbon masih terus dimatangkan oleh seluruh kementerian lembaga, termasuk Kementerian Keuangan. Penyusunan aturan ini, lanjut dia, mempertimbangkan segala aspek terutama pengembangan pasar karbon dan kesiapan sektor terkait. Kondisi global, kata Febrio, juga terus diantisipasi dengan hati-hati.
Dalam keterangan pers Jumat (24/6/2022), Kementerian Keuangan menegaskan kembali komitmen untuk mencapai NDC sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen menggunakan dukungan internasional pada 2030, sekalipun penerapan pajak karbon ini tertunda lagi tak jadi diberlakukan mulai 1 Juli 2022.
Febrio menyatakan, pemerintah tetap menempatkan perubahan iklim sebagai prioritas. Namun, kata dia, perekonomian saat ini juga tengah menghadapi risiko global yang membayangi upaya pemulihan ekonomi selepas pandemi Covid-19.
“Saat ini, fokus utama Pemerintah adalah menjaga perekonomian nasional dari rambatan risiko global yang salah satunya adalah peningkatan harga komoditas energi dan pangan global seiring terjadinya perang di Ukraina yang menyebabkan peningkatan inflasi domestik,” urai Febrio.
Dengan perkembangan tersebut, lanjut dia, pemerintah memprioritaskan fungsi APBN untuk memastikan ketersediaan dan stabilisasi harga energi dan pangan di dalam negeri, termasuk memberikan subsidi dan berbagai bentuk perlindungan sosial untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan dari dampak kenaikan harga.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.