"APBN sebagai peredam guncangan (shock absorber) menjadi instrumen sentral dalam menjaga dan melindungi perekonomian dan rakyat dari dampak kenaikan harga pangan dan energi global," kata Febrio.
Baca juga: Krisis Pangan Global, Ancaman Lebih Besar dari Invasi Rusia ke Ukraina
Pemerintah juga tetap menjadikan penerapan pajak karbon pada 2022 sebagai capaian strategis (deliverables) yang menjadi contoh dalam pertemuan tingkat tinggi G20.
“Termasuk bagian dari deliverables ini, Pemerintah juga mendorong aksi-aksi mitigasi perubahan iklim lainnya, di antaranya melalui mekanisme transisi energi (energy transition mechanism/ETM) yang di satu sisi memensiunkan dini PLTU batu bara (phasing down coal) dan di sisi lain mengakselerasi pembangunan energi baru dan terbarukan (EBT) dengan tetap mempertimbangkan dampak sosial dan ekonominya,” papar Febrio.
Terpisah, peneliti perpajakan, Fajry Akbar, berpendapat penerapan pajak karbon pada 2022 dirasa kurang tepat. Ini karena harga komoditas energi seperti bahan bakar minyak dan batu bara sedang tinggi-tingginya.
Seperti dikutip Kontan, Fajry menyarankan pemerintah menjalankan terlebih dahulu administrasi pajak karbon tanpa pemungutan. Dia pun menyayangkan bahwa hingga saat ini regulasi teknis pajak karbon belum juga tuntas.
“Paling penting administrasinya jalan dahulu tanpa ada pemungutan pajak karbon lalu diberikan relaksasi. Nanti, ketika harga energi sudah kembali normal barulah dipungut pajak karbon (saat) di sisi lain administrasinya sudah siap,” imbuh Fajry, Jumat (24/6/2022).
Baca di Kontan: Penerapan Pajak Karbon 1 Juli 2022 Ditunda, Ini Kata Pengamat Pajak
Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.