Dalam konteks ini, iklan “You don’t have to be Jewish” menjadi salah satu contoh yang baik.
Meski mencantumkan agama Yahudi dalam materi promosinya, iklan ini berhasil mendapatkan pujian dan antusiasme dari seluruh masyarakat kota New York — lokasi penargetan iklan tersebut.
Alasannya pun sederhana; karena iklan tersebut tidak menyinggung nilai dan keyakinan New York.
Produk yang dipromosikan, yaitu roti, dikonsumsi oleh seluruh kalangan tanpa terbatas sekat-sekat budaya tertentu.
Selain itu, perdebatan agama pada masa pengiklanan konten promosi tersebut berjalan tidaklah seintens sekarang.
Mau diakui atau tidak, periklanan menjadi sangat efektif dalam menyampaikan pesannya ketika sesuai dengan karakteristik dan preferensi audiens.
Masyarakat juga punya peran penting dalam mengontrol iklan berorientasi agama yang diterbitkan oleh merek-merek.
Selain karena akan menjadi calon konsumen dari produknya merek, dengan cara ini masyarakat dapat memastikan, apakah merek sudah menaati etika periklanan atau belum dalam membuat dan menyebarluaskan konten promosi.
Diakui atau tidak, kontrol paling efektif memang datang dari masyarakat selaku konsumen aktif sekaligus penduduk tetap semesta sosial.
Dengan begitu, merek-merek di masa mendatang dapat lebih berhati-hati tatkala memutuskan untuk menjadikan agama sebagai konten.
Supaya tidak sekadar mementingkan profit untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok, tetapi lebih berfokus pada menjaga keharmonisan dan kebersamaan masyarakat sebagaimana hakikat iklan seharusnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.