Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Perlu Antisipasi Dampak Resesi Ekonomi AS, Ini Saran Ekonom

Kompas.com - 04/07/2022, 17:30 WIB
Yohana Artha Uly,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ekonom menilai ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah maupun lembaga otoritas untuk mengantisipasi terjadinya resesi ekonomi Amerika Serikat (AS) agar tidak berdampak signifikan pada perekonomian Indonesia.

Seperti diketahui, ekonomi AS berpotensi mengalami resesi sejalan dengan kekhawatiran akan lonjakan inflasi yang terjadi di sepanjang tahun. Potensi resesi menguat usai Federal Reserve AS menaikkan suku bunga 75 basis poin untuk menekan lonjakan inflasi.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, untuk mengantisipasi terjadinya resesi ekonomi AS, pada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) perlu melakukan beberapa hal jangka pendek.

Baca juga: AS Terancam Resesi, Apa Dampaknya ke Indonesia?

Seperti, melakukan stress test terhadap perbankan, asuransi, dan lembaga keuangan lain, terutama berkaitan dengan dampak resesi di AS, keluarnya modal asing, dan kenaikan suku bunga yang eksesif (The Fed rate naik lebih dari 4 kali setahun)

Selain itu, perlu segera menaikkan suku bunga 50 basis poins sebagai langkah pre-emptives hadapi tekanan inflasi di semester II-2022. Lalu memperbaiki jaring pengaman sistem keuangan terutama skenario bail in.

Baca juga: Elon Musk Ramal Resesi AS Tak Terhindarkan dan Dalam Waktu Dekat

Serta menambah negara mitra local currency settlement (LCS) dan memberi insentif lebih besar bagi pelaku usaha ekspor agar menukar devisa dollar AS dengan rupiah.

Juga perlu meningkatkan erapan investor domestik dalam SBN untuk cegah volatilitas akibat keluarnya investor asing di pasar obligasi.

"Ketiga pemain utama harus berada didepan yakni, BI (Bank Indonesia), OJK (Otoritas Jasa Keuangan), dan Kementerian Keuangan. Sinergi antar ketiganya penting. Hubungan fiskal-moneter harus kompak jangan ada ego sektoral yang hambat harmonisasi kebijakan," jelasnya kepada Kompas.com, Senin (4/7/2022).

Baca juga: Tenang, Kenaikan Tarif Listrik Tidak Dorong Lonjakan Inflasi di RI

Khusus pada BI, Bhima menilai, selain kebijakan menaikkan suku bunga acuan dan penyesuaian Giro wajib minimum (GWM), BI bisa meningkatkan rasio loan to value (LTV) khusus, misalnya LTV hijau untuk dorong permintaan properti yang berkelanjutan. Sehingga ada program-program kreatif untuk mendorong permintaan properti dalam negeri.

Menurutnya, BI dan OJK juga harus berkoordinasi agar bank cepat melakukan transmisi penurunan suku bunga kredit sebelum era suku bunga rendah berakhir.

Ia bilang, bunga yang masih rendah harus dimanfaatkan untuk memacu penyaluran kredit khususnya ke sektor produktif, seperti pertanian, industri manufaktur, dan konstruksi.

"OJK juga perlu mempersiapkan protokol manajemen krisis khususnya penguatan pengawasan konglomerasi perbankan," kata Bhima.

Baca juga: Menkeu AS: Ekonomi Melambat, tetapi Resesi Bukannya Tak Bisa Dihindari...

 

Manajemen krisis

Manajemen krisis tersebut, kata dia, bisa dilakukan dengan monitoring perbankan yang memiliki eksposure tinggi terhadap pasar keuangan global. Lalu melakukan pencegahan terhadap risiko gagal bayar perusahaan didalam negeri yang memiliki debt to equity yang tinggi.

Kemudian menyeleksi secara ketat startup yang ingin IPO, sehingga bukan mengandalkan besaran valuasi tapi kemampuan menjaga arus kas (cashflow) dan pendapatan perusahaan. Bhima mengingatkan, untuk regulator perlu mewaspadai tech bubble.

"Selain itu, dengan perhatian terhadap bank yang masih memiliki jumlah restrukturisasi pinjaman yang tinggi. Apakah bank perlu diberikan relaksasi lanjutan misalnya," ucapnya.

Terkait kebijakan di sektor pemerintahan, Bhima menilai, perlu dilakukan penebalan alokasi subsidi energi dan pangan, termasuk pupuk subsidi. Tak hanya itu, menurutnya, jaring pengaman sosial saat pandemi (PEN) jangan terburu-buru dipangkas atau distop.

Ia bilang, pemerintah perlu menambah penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH) dari 10 juta keluarga menjadi 15 juta keluarga. Hal ini untuk melindungi pengeluaran kelompok masyarakat terbawah dari gejolak kenaikan harga pangan.

"Serta perlu perkuat penerbitan utang dengan bunga yang relatif murah. Dominasi SBN dalam utang cukup berisiko karena yield-nya (imbal hasil) terus meningkat," tutup Bhima.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com