Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herry Darwanto
Pemerhati Sosial

Pemerhati masalah sosial. Bekerja sebagai pegawai negeri sipil sejak 1986 hingga 2016.

Tantangan Mencapai Target Energi Baru Terbarukan (EBT) 23 Persen

Kompas.com - 05/07/2022, 12:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAHUN 2025 sudah di depan mata. Namun peran energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia masih jauh dari target 23 persen yang telah dicanangkan pemerintah. Target itu merupakan janji kita kepada dunia, bahwa kita ikut berperan dalam mengurangi emisi karbon.

Pengurangan emisi karbon merupakan cara untuk menurunkan panas bumi yang telah menyebabkan gunung es di kawasan kutub semakin cepat mencair. Permukaan air laut yang meningkat menyebabkan tergerusnya permukiman penduduk di sepanjang pantai yang landai. Gejala alam ini sudah terjadi di berbagai bagian dunia, termasuk di Indonesia.

Peningkatan suhu bumi juga menyebabkan kebakaran hutan di mana-mana, seperti yang kita saksikan belum lama ini di Amerika Serikat (AS) dan sebelumnya di Australia.

Baca juga: Akhir 2021, Bauran Energi Baru Terbarukan di Indonesia Masih 11,7 Persen

Perubahan iklim dan dampak bencana alam yang diakibatkannya menuntut tindakan bersama secara global. Setiap negara berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon yang dihasilkan.

Komitmen Indonesia adalah penetapan target capaian EBT sebesar 23 persen pada tahun 2025, yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi.

Walau kehendak politik pemerintah sudah tegas, tetapi implementasinya terlihat berjalan lambat. Menurut Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), realisasi bauran EBT hingga akhir 2021 baru mencapai 12,16 persen, dan diperkirakan tidak melebihi 15 persen pada akhir 2022 (dunia-energi.com, 8/6/2022).

Berbagai upaya

Banyak hal telah dilakukan untuk meningkatkan sumbangan EBT dalam bauran energi nasional. Beberapa kebijakan yang lebih konkret juga ditetapkan untuk meningkatkan peran EBT.

DPR telah meratifikasi Perjanjian Paris tentang perubahan iklim dan pengurangan pemanasan global dan saat ini sedang menggodok RUU EBT. Pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional, yang menegaskan target pembangkit listrik EBT tahun 2025 adalah 45 gigawatt (GW) dan target tahun 2050 sebesar 168 GW.

Kementerian ESDM selain menetapkan Rencana Usaha Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 dan berbagai peraturan teknis menyangkut EBT, juga melaksanakan berbagai proyek pengembangan EBT, diantaranya PLTS Atap.

Kementerian Perindustrian mendorong penggunaan kendaraan listrik untuk mengurangi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang polutif. Kementerian Keuangan menerapkan instrumen pajak dan membentuk lembaga pembiayaan khusus untuk mendukung produksi dan penggunaan EBT.

PLN menetapkan target karbon netral pada 2060. Saat ini porsi EBT dalam seluruh pembangkit listrik hanya 14 persen, selebihnya dari batu bara (62 persen), gas (20 persen) dan diesel (4 persen).

Perbankan nasional memperbanyak kredit untuk proyek energi yang ramah lingkungan dan bermaksud menyetop kredit untuk proyek energi yang merusak lingkungan. Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pendanaan hijau dari perbankan mencapai Rp 809,75 triliun pada 2020.

Tantangan

Pembiayaan untuk membangun infrastruktur EBT memang sangat besar. Menurut perkiraan, untuk mencapai 23 persen EBT pada 2025 diperlukan biaya sekitar Rp 518 triliun (Kompas, 10/12/2019). Pada tahun-tahun berikutnya hingga 2050, diperlukan dana sebesar Rp 195 triliun per tahun untuk mencapai target EBT 168 GW (Kompas, 24/11/2021).

Kementerian Keuangan mencatat alokasi anggaran perubahan iklim dalam APBN selama 2018-2020 hanya sebesar Rp 102,5 triliun per tahun (Kompas, 4/8/2021).

Terlihat ada kesenjangan yang lebar antara kebutuhan dan kemampuan pendanaan. Tanpa ada upaya untuk mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membangun infrastruktur EBT, maka niat menggantikan energi fosil dengan energi bersih akan tidak terwujud pada waktunya.

Baca juga: Belajar dari Semangat Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) Mesir

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com