DANA Moneter Internasional atau IMF dan Bank Dunia bersahut-sahutan mengabarkan bayangan resesi ekonomi di sejumlah negara tidak terhindarkan lagi hingga tahun depan. Prestasi pemulihan ekonomi oleh sejumlah negara setelah masuk jurang resesi akibat pandemi bertahan hanya beberapa kuartal. Sejumlah negara kini kembali harus menelan datangnya “winter is coming” lebih cepat, lantaran hantaman inflasi dan menurunnya ekonomi.
Congkaknya blok-blok militer menghantarkan Ukraina menjadi area peperangan konvensional, berakibat pada supply shock pangan dan energi global tak terhindarkan. Harga komoditas global terkerek naik, dampaknya inflasi menjalar di banyak negara. Meningkatnya berbagai resiko ekonomi global membuat IMF dan Bank Dunia mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi global.
Baca juga: Inflasi AS Capai 9,1 Persen dan Terbesar sejak 1981, Ini Kata Menkeu AS Janet Yellen
Pada awal tahun 2022, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia mencapai 4,4 persen. Namun perang di Ukraina mengubah proyeksi itu. Pada April 2022, IMF memperkirakan ekonomi global hanya tumbuh 3,6 persen.
Sejalan dengan IMF, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global semula 4,1 persen. Namun Bank Dunia kembali mengoreksinya, diperkirakan pertumbuhan ekonomi global hanya 2,9 persen.
Empat raksasa ekonomi Eropa, yakni Inggris, Jerman, Prancis dan Italia menghadapi badai inflasi tinggi.
Inflasi Inggris per Mei 2022 mencapai 9,1 persen, tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Hal serupa dialami Jerman, pada Juni 2022 inflasinya mencapai 7,6 persen, sedikit turun dari Mei 2022 yang mencapai 7,9. Angka itu merupakan tertinggi sejak 50 tahun terakhir. Pada Juni 2022 inflasi Prancis kembali naik ke 5,8 persen dari bulan sebelumnya 5,2 persen. Italia juga mengalami tren kenaikan inflasi dari Mei 2022 sebesar 6,8 persen menjadi 8 persen di Juni 2022. Zona Eropa mengalami inflasi 8,6 persen dari sebelumnya 8,1 persen dan April 2022 di 7,4 persen.
Inflasi di Amerika Serikat (AS) pada Juni naik menjadi 9,1 persen dari bulan sebelumnya 8,6 persen, posisi ini mengantarkan AS mencapai inflasi tertinggi sejak 1981. Tren kenaikan inflasi dialami oleh semua negara anggota G20. Hal inilah yang menggerakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Ketua G20 menempuh resiko keamanan bertandang ke Ukraina dan Rusia. Puji syukur Presiden Putin menyetujui permintaan Presiden Joko Widodo untuk membuka akses pangan dan pupuk yang terdisrupsi. Terbaru, Ukraina telah ekspor gandum yang menjadi pangan pokok di sejumlah kawasan seperti Eropa, Timur Tengah, dan Afrika.
Respon sejumlah bank sentral negara maju, terutama The Fed dalam pengendalian inflasi dengan mengetatkan kebijakan moneter. Sejak Februari hingga Juni 2022 The Fed mengerek suku bunga acuan hingga 150 basis poin, dari 0,25 persen sampai 1,75 persen. Tampaknya resep suku bunga naik (hawkish) akan tetap dipakai sepanjang tahun ini untuk menaklukkan inflasi dari sisi moneter, meskipun sejauh ini cara ini belum berhasil, sebab core inflation karena tingginya harga energi belum teratasi. Sebaliknya kebijakan ini malah menekan sejumlah mata uang utama dunia lainnya seperti euro, dan yen.
Meskipun perdagangan dengan Amerika Serikat porsinya hanya 12 persen dari total perdagangan kita ke seluruh dunia, tetapi 80 persen pembayaran kita memakai mata uang dolar AS. Saat harga dolar makin mahal, imbas naiknya suku bunga acuan The Fed, maka kita menanggung resiko biaya dana terhadap dolar yang makin mahal, sehingga makin menggerus belanja pada APBN kita, salah satunya kewajiban pembayaran yield surat utang pemerintah.
Baca juga: Kenaikan Harga Pangan dan BBM Non Subsidi Bisa Pacu Inflasi RI Mencapai 4,6 Persen di Juli 2022
Terlihat yield beberapa negara mengalami kenaikan. Per Mei 2022 yield SUN IDR 10y naik 13,2 persen (year to date/ytd). Namun itu masih lebih baik daripada LCY 10Y Mexico yang naik 14,7 persen, Malaysia 21,7 persen, Filipina 36,7 persen, US 84,2 persen.
Dampak suku bunga yang makin naik, terlebih dalam waktu yang lama sangat berpotensi memukul sektor riil Indonesia. Hal itu dapat memengaruhi kinerja kredit bisa menurun, meskipun sejauh ini kinerja kredit kita menunjukkan pertumbuhan positif. Per Mei 2022 penyaluran kredit baru tumbuh 43 persen dan permintaan pembiayaan baru dari korporasi tumbuh 12,1 persen.
Berbagai sinyal kurang menggembirakan seperti tren kenaikan inflasi, naiknya kurs, dan suku bunga surat utang, harus kita waspadai dan mitigasi dengan baik. Badan Anggaran (Banggar) DPR memberikan dukungan penuh kepada pemerintah untuk memiliki amunisi yang cukup menghadapi ketidakpastian global.
Asumsi ICP (Indonesian Crude Price) atau harga minyak mentah Indonesia telah bergeser dari patokan awal sebesar 63 dolar/barel karena realisasinya hingga rata rata di atas 100 dolar/barel pada 19 Mei 2022. Banggar DPR telah menyetujui perubahan asumsi ICP pada APBN 2022 menjadi 100 dolar/barel.
Bekal lain yang dimiliki pemerintah melalui APBN adalah penyesuaian target pendapatan dan belanja negara pada APBN 2022. Perubahan postur APBN 2022 dengan pendapatan negara sebesar Rp 2.266,2 triliun meningkat dari target awal pada APBN 2022 yaitu Rp 1.846,1 triliun. Dari sisi belanja meningkat sebesar Rp 392,3 triliun, dari semula sebesar Rp 2.714,2 triliun pada perubahan APBN tahun 2022 menjadi Rp 3.106,4 triliun.
Baca juga: Anggaran Bansos APBN 2022 Naik Rp 18,6 Triliun, Totalnya Jadi Rp 431,5 Triliun