Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sri Mulyani: Negara Berkembang Perlu Waspadai Kenaikan Suku Bunga Global

Kompas.com - 15/07/2022, 12:45 WIB
Yohana Artha Uly,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kenaikan suku bunga acuan yang agresif dan pengetatan kebijakan moneter global melalui likuiditas telah berdampak pada keluarnya modal asing (capital outflow) dari negara-negara berkembang.

Lonjakan inflasi yang terjadi di sebagian besar negara di dunia, telah membuat negara-negara maju menaikkan suku bunga acuannya dengan agresif. Kebijakan kenaikan suku bunga juga mulai diikuti oleh negara-negara berkembang.

Ia mengungkapkan, kenaikan suku bunga yang dilakukan negara maju berdampak pada risiko capital outflow dari negara berkembang. Sementara kenaikan suku bunga oleh negara berkembang meningkatkan risiko beban bunga.

Baca juga: 276 Juta Penduduk Dunia Dihantui Krisis Pangan, Sri Mulyani: Ini Benar-benar Masalah yang Mengancam...

Oleh sebab itu, Sri Mulyani menekankan, peningkatan risiko sisi moneter ini perlu untuk terus diwaspadai karena dampaknya juga akan memberikan tekanan pada nilai tukar.

"Mengingat pengetatan kebijakan moneter global juga disertai dengan kondisi likuiditas, negara-negara berkembang perlu meningkatkan kewaspadaan, karena hal itu akan menciptakan kerentanan yang berasal dari arus keluar modal dan peningkatan biaya pembiayaan," ujar Sri Mulyani dalam pembukaan 3rd Finance Ministers and Central Bank Governor Meeting (FMCBG) G20 Indonesia di Bali, Jumat (15/7/2022).

Selain risiko pengetatan kebijakan moneter, Sri Mulyani menekankan, dunia juga sedang menghadapi risiko lain yang disebabkan perang Rusia dan Ukraina. Perang kedua negara itu membuat harga komoditas energi dan pangan melonjak yang turut mengerek inflasi.

Baca juga: Indonesia Masuk Daftar 15 Negara yang Berpotensi Resesi, Ini Kata Sri Mulyani

Gejolak ekonomi global itu pun telah berimplikasi pada menyempitnya kemampuan fiskal berbagai negara, setelah sebelumnya sudah tertekan akibat pandemi Covid-19. Alhasil, mendorong kenaikan utang yang terjadi di banyak negara, termasuk negara maju.

"Jadi perang ini memberikan tekanan tiga kali lipat. Lonjakan harga komoditas dan peningkatan inflasi global, dan itu juga dapat berimbas pada limpahan utang yang nyata. Tidak hanya untuk negara-negara berpenghasilan rendah, tetapi juga di negara-negara berpenghasilan menengah atau bahkan negara maju," paparnya.

Baca juga: Investasi Proyek Transisi Energi Mencapai Rp 7.500 Triliun, Sri Mulyani: Butuh Support Global

Ia menambahkan, saat ini 60 persen dari negara-negara berpenghasilan rendah terancam kesulitan membayar utang. Di sisi lain, belasan negara berkembang juga memiliki kemungkinan tak bisa membayar utang di tahun depan.

"Jadi ini bukan hanya satu atau dua kasus luar biasa. Ini perlu menjadi perhatian menteri keuangan dan gubernur bank sentral bersama dengan organisasi internasional lembaga multilateral," pungkas Sri Mulyani.

Baca juga: Sri Mulyani Keluhkan 24.000 Aplikasi Pemerintah Bikin Boros Anggaran, Menkominfo: Akan Ditutup

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com