KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Menumbuhkembangkan Karyawan

Kompas.com - 16/07/2022, 08:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KETIKA masih kecil kita sering kali ditanya, “kalau sudah besar mau jadi apa?”. Ada yang mengatakan ingin menjadi petugas pemadam kebakaran. Selain itu, banyak juga yang menjawab ingin menjadi dokter.

Ambisi seorang anak bisa saja terpelihara sampai dewasa sebelum ia menemukan hal-hal lain yang dapat membelokkan cita-citanya dan mengalihkan tujuan kariernya. Baik itu kenyataan yang tidak sesuai dengan bayangannya, maupun hal lain yang lebih.

Bekerja adalah salah satu cara manusia mewujudkan makna hidup sehingga sering kali kita hanya fokus memikirkan hal-hal terkait pekerjaan. Apakah ini profesi yang ingin saya jalani? Bagaimana saya bisa mengembangkan karier lebih lanjut? Apakah saya akan mengambil pendidikan lebih lanjut?

Sebagai people manager, sadarkah kita bahwa setiap anggota tim menyimpan pertanyaan-pertanyaan tersebut? Sebagai employer, atasan, atau profesional di departemen human capital, kita merupakan pihak yang perlu membimbing mereka untuk mencari jawaban atas pertanyaan itu agar motivasi mereka dalam bekerja tetap terjaga.

Bentuk baru pengembangan karier

Dua dekade lalu, pengembangan karier sering digambarkan sebagai pendakian, penggolongan kepangkatan, atau peningkatan tangga karier. Sementara kondisi saat ini, ketika organisasi menjadi semakin datar dan melebar, serta terjadinya disrupsi yang mengharuskan perusahaan mengganti peran para manajernya, penggunaan tangga karier sudah tidak relevan.

Jalur karier tidak lagi statis sehingga fokus pengembangannya lebih banyak mengarah pada continuous learning. Mereka yang ingin mencapai jabatan lebih tinggi harus mengembangkan keterampilannya.

Pengembangan keterampilan pun perlu memperhatikan keseimbangan antara keterampilan teknis dan nonteknis. Di satu sisi, proses ini juga harus memperhatikan kondisi, seperti pengembangan individu yang bisa jadi memang mentok pada tahapan tertentu. Akan tetapi, mereka tetap memiliki kontribusi sangat berharga bagi organisasi.

Karena itu, bisa dikatakan bahwa pengembangan karier karyawan adalah usaha bahu-membahu antara para karyawan dan organisasi serta atasannya.

Dengan maraknya persaingan di pasar tenaga kerja, kita dapat melihat bahwa loyalitas karyawan pada perusahaan kian meluntur. Individu pun jadi lebih berani mencari kesempatan di luar perusahaan yang dapat memenuhi kebutuhannya.

Eileen RachmanDok. EXPERD Eileen Rachman

Oleh karena itu, para profesional human capital harus semakin memikirkan employability organisasi dan mengembangkan kreativitasnya dalam menyusun program-program pengembangan. Pengalaman membuktikan bahwa perusahaan yang mengembangkan karier karyawannya dengan serius memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mencetak keuntungan.

Revolusi pengembangan karyawan

Meski begitu, pengembangan karyawan perlu sejalan dengan percepatan tuntutan pasar, baik dalam adaptabilitas, literasi teknologi, maupun manajemen manusia. Jangan sampai manusia yang tadinya terlihat begitu hebat ketika bergabung dengan organisasi 20 tahun lalu, tiba-tiba sekarang tertatih-tatih mengikuti perkembangan pasar.

Banyak perusahaan besar sudah memiliki program-program pengembangan karyawan yang baku. Namun, mereka perlu terus melakukan evaluasi secara berkala untuk melihat apakah programnya masih sesuai dengan kebutuhan pasar. Apakah program itu mampu menjawab tuntutan globalisasi? Apakah para talenta dalam program pengembangan tersebut dapat beradaptasi terhadap perubahan yang demikian cepat?

Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pembelajaran menjadi lebih cepat dan terjadi di seluruh organisasi.

Pertama, kita perlu membudayakan kegiatan bertanya di seluruh organisasi. Empati adalah prinsip dasar dari desain yang user-centered. Selain harus memahami pelanggan, perusahaan pun perlu memahami kebutuhan pembelajaran bagi setiap individu di dalamnya. Hal ini hanya bisa ditemukan dengan cara bertanya.

Dalam kondisi serba-elektronik, misalnya, pertemuan one on one antara atasan dan bawahan justru menjadi sangat penting. Melalui pertemuan inilah, atasan dapat membaca apa yang menjadi fokus bawahannya dan apa yang sudah atau belum mereka lakukan.

Pada sesi itu pula, atasan secara tidak langsung mendapat pembelajaran, umpan balik, dan berlatih mendengar aktif.

Kedua, learning experience harus diciptakan dan disadari. Semboyan “kerja, kerja, kerja” saja tidak cukup lagi. Sekarang, harus ada “belajar, belajar, belajar”. Ini merupakan tugas perusahaan untuk memberikan kesempatan belajar bagi setiap individu. Setelah mengidentifikasi keterampilan apa yang harus dipelajari para talent, kita perlu secara kreatif menciptakan ajang belajar bagi mereka dan mengevaluasinya.

Hal itu tentu membutuhkan banyak usaha dan investasi, baik dari segi waktu maupun biaya. Akan tetapi, hasil yang didapatkan akan sepadan. Learning moments akan membuat hubungan atasan dan bawahan menjadi lebih erat.

Atasan pun diharapkan berkreasi dalam menciptakan pengalaman belajar dan menyesuaikannya dengan gaya belajar para bawahan. Ada bawahan yang lebih senang belajar dari podcast untuk mempelajari suatu konsep. Sementara itu, ada juga yang perlu praktik dan berdiskusi one on one agar dapat lebih memahami.

Pada zaman ini, generasi muda sudah dididik untuk mendapatkan umpan balik. Mereka terbiasa mencari respons dari luar terhadap tindakan-tindakannya. Budaya pemberian umpan balik ini bisa dimulai dari hal positif untuk kemudian diseimbangkan dengan hal yang lebih konstruktif.

Dengan tuntutan baru tersebut, kita sebagai pemimpin juga perlu mengingatkan semua jajaran manajemen untuk lebih efektif dalam mengelola waktu. Sebab, besar kemungkinan kegiatan pembelajaran dilakukan di sela-sela pengerjaan tugas.

Tidak semua proses coaching harus dilakukan oleh atasan masing-masing divisi. Kita juga bisa menitipkan proses belajar ini pada divisi lain ataupun saling bertukar coachee, atau peserta pelatihan, antardivisi.

Pendekatan user-centered tersebut pasti akan membuat pekerjaan menjadi lebih mudah karena inisiatif bawahan menjadi lebih kuat dan bersemangat.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com