Alih-alih melakukan pengadaan melalui rekruitmen dan seleksi berdasarkan kompetisi yang terbuka dan adil dengan memperhatikan kualifikasi dan kompetensi, namun kenyataannya keputusan mengangkat tenaga honorer selalu menjadi pilihan utama.
Belum lagi mayoritas perekrutan masih jauh dari keterbukaan yang mempertemukan potensi dan kompetensi.
Dampaknya, tak sedikit ruang dalam birokrasi hanya diisi oleh para pencari kerja semata berkapasitas medioker.
Keputusan instansi mengangkat tenaga honorer dalam jumlah banyak di luar pertimbangan kebutuhan, bukanlah tanpa akibat.
Bila merujuk pada Parkinson's Law atau Birokratisasi Parkinson (Parkinsonisasi) bahwa kecenderungan menata birokrasi dengan memperbesar jumlah kuantitatif akan menyebabkan big bureaucracy yang berujung pada lambatnya proses kerja birokrasi.
Meskipun selama ini, tentu saja dalih perekrutan selalu mengatasnamakan himpitan beban kerja organisasi, namun bukankah analisis beban kerja seharusnya sudah tuntas dilakukan saat merencanakan kebutuhan formasi dalam perekrutan ASN.
Bahkan dalam situasi tertentu, perilaku politis kepala daerah yang seolah memberikan janji bagi tenaga honorer untuk diangkat otomatis sebagai PNS semakin menyuburkan stigma yang keliru di kalangan masyarakat.
Upaya gencar pemerintah dalam melakukan penataan SDM aparatur bisa saja terhambat bila inkonsistensi kebijakan terus terjadi.
Bahkan bertahun-tahun dampak dari inkonsistensi ini semakin memunculkan benang kusut antara jumlah tenaga honorer yang berlipat ganda dan keinginan untuk menghadirkan aparatur pemerintah berkualitas.
Keduanya menjadi kontradiksi, sebab perekrutan tenaga honorer tidak memiliki dasar aturan dan prosedur yang jelas dalam ihwal pengadaanya saat ini dan begitupun soal status keberadaanya.
Puncaknya, di saat jumlah tenaga honorer semakin banyak, aspirasi untuk diangkat menjadi ASN secara langsung semakin tinggi.
Ibarat pisau bermata dua, kebijakan penghapusan tenaga honorer mesti ditanggapi dengan hati-hati dan mengedepankan penyelesaian jalan tengah.
Kebijakan ini, untuk jangka panjang memang akan memberikan nilai positif, sebab pemerintah akan mempunyai data rill kepegawaian yang memudahkan mereka melakukan analisis kebutuhan instansi pemerintah.
Begitu halnya dengan kesejahteraan para pegawai di instansi pemerintah, tentu akan lebih terjamin.
Sebab tidak ada lagi status bernama tenaga honorer yang selama ini mekanisme penggajiannya tidak jelas dan mayoritas upahnya jauh dari standar kelayakan.