Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekonom: Indonesia Masih Jauh dari Resesi

Kompas.com - 18/07/2022, 20:35 WIB
Ade Miranti Karunia,
Akhdi Martin Pratama

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Chief Economist PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan, probabilitas Indonesia terkena resesi global adalah sebesar 5 persen. Sebagai gambaran, bersumber dari data Bloomberg, probabilitas Amerika Serikat terkena resesi adalah 40 persen.

Kendati Indonesia dikatakan masih jauh dari krisis gobal, Budi berkelakar bahwa Indonesia sesungguhnya menghadapi ancaman krisis yang lebih pasti, yakni "growing old before growing rich” atau menua sebelum kaya.

"Artinya, Indonesia masih jauh dari resesi. (Untuk Indonesia) saya lihat ini volatility, alih-alih tsunami," ujar Budi dalam keterangan tertulis, Senin (18/7/2022).

Baca juga: Apa Itu Resesi Ekonomi: Pengertian, Penyebab, dan Dampaknya

Lebih lanjut kata Budi, demografi penduduk Indonesia akan mulai menua pada 2030. Hal itu akan menjadi risiko apabila masyarakat belum menyiapkan investasi sedari sekarang. Selama berpuluh tahun mengamati kondisi ekonomi, kata dia, ada sejumlah hal yang membedakan antara krisis 1998, krisis 2008, 2013, dan krisis 2020, serta krisis kali ini yang dipicu oleh situasi pandemi.

Pada krisis yang disebabkan oleh pandemi, berbagai negara melakukan pagelaran stimulus luar biasa. Dia mencontohkan bank sentral yang menciptakan likuiditas luar biasa sehingga suku bunga rendah. Kemudian ada fenomena kenaikan aset kripto.

Pandemi juga telah menyebabkan pembatasan pergerakan orang serta hilangnya banyak nyawa, sehingga ada kelangkaan tenaga kerja dan modal. Ada kebutuhan untuk menaikkan suku bunga.

Namun, di saat yang sama, ada ancaman inflasi tinggi pasca pandemi. Baik di Indonesia dan di dunia, menurut dia yang perlu diwaspadai inflasi tinggi yang diperkirakan akan berlangsung cukup lama.

Nemun menurutnya lagi, Indonesia sebetulnya memiliki posisi yang cukup diuntungkan. Pasalnya, inflasi saat ini dipicu oleh pergerakan komoditas.

"Komoditas itu ada dua jenis. Ada cost commodity seperti minyak. Ada income commodity yang menghasilkan valas, seperti coal, nikel, karet, CPO, dan gas. Sejauh ini, kita masih beruntung karena income commodity kita tumbuh lebih pesat ketimbang cost commodity," ujarnya.

Baca juga: Tanggapi Survei, Kemenkeu Bilang Risiko Resesi RI Kecil

Meskipun saat ini dunia menghadapi tantangan yang menggoyang ekonomi, Budi memberikan kerangka kepada para pelaku pasar untuk mengukur kepanikan, khususnya dalam pembentukan strategi investasi.

Pertama, dinamika global, baik dari segi ekonomi maupun geopolitik. Kedua, opsi kebijakan domestik serta responnya. Ketiga, pengambilan posisi oleh investor asing. Sebagaimana kejadian pada krisis 2008 dan 2020.

"Ini perlu kita evaluasi. Acuan untuk cuan, lebih baik mengendalikan kerakusan, cukup rajin ambil untung, built in, dan cegah cut loss," ucapnya.

Budi juga menilai, pasar modal Indonesia memasuki musim semi. Artinya ada peluang untuk bergerak membaik dan memberikan "cuan".

Secara historikal, Budi menyebutkan bahwa semester kedua biasanya market memang mengalami volatilitas.

Selama 15 tahun terakhir, ujarnya, ada kecenderungan pola huruf V pada triwulan ketiga tahun berjalan, serta kecenderungan pasar memerah pada November, kemudian berbalik menjadi hijau pada Desember.

"Apakah tetap tesis ini? Saya sendiri menguji diri dengan investasi saya," ucapnya.

Berdasarkan hasil survei Bloomberg, Indonesia masuk ke dalam daftar negara ancaman resesi. Bloomberg menyebutkan, potensi resesi Indonesia hanya 3 persen. Dalam survei tersebut, Indonesia masuk dalam daftar 15 negara yang berisiko mengalami resesi. Dalam daftar tersebut, Indonesia berada di peringkat ke-14.

Baca juga: Luhut soal Potensi Resesi: Ekonomi RI Salah Satu yang Terbaik di Dunia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com