Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Runtuhnya Usaha Petani Rakyat Akibat RI Masih Bergantung Impor

Kompas.com - 19/07/2022, 20:15 WIB
Ade Miranti Karunia,
Akhdi Martin Pratama

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Meli Triana menilai, liberalisasi perdagangan di tengah kemampuan sektor pertanian domestik dan daya saing yang lemah di pasar global, telah meruntuhkan banyak usaha pertanian rakyat, serta menciptakan ketergantungan impor yang tinggi.

"Liberalisasi pasar pangan telah mendorong impor pangan secara berlebihan, termasuk melalui jalur ilegal sehingga secara jelas merugikan, bahkan menghancurkan pertanian rakyat," kata Meli dalam keterangan tertulisnya, Selasa (19/7/2022).

Meli mencontohkan pasca krisis 1997, liberalisasi pasar kedelai dilakukan atas dorongan Dana Moneter Internasional atau IMF. Sepanjang 1998-2001, impor kedelai melonjak hampir dua kali lipat dari sebelumnya di kisaran 800.000 ton menembus 1,4 juta ton.

Baca juga: Akademisi Dorong Pemerintah Tetapkan Regulasi Perlindungan Petani

Periode yang sama, produksi kedelai domestik jatuh drastis dari 1,3 juta ton menjadi hanya kisaran 850.000 ton, dan sejak saat itu tidak pernah mampu bangkit kembali hingga kini.

"Indonesia kini rutin mengimpor kedelai lebih dari 2 juta ton setiap tahunnya. Terakhir, pada 2021, ketika impor kedelai mencapai 2,5 juta ton, produksi kedelai nasional hanya sekitar 425.000 ton, bahkan disinyalir hanya di kisaran 240.000 ton," ungkap Meli.

Meli bilang, masih bergantung pada pasar pangan global memunculkan kerentanan yang tinggi pada ketahanan dan kemandirian pangan nasional. Kerentanan terbesar datang dari ketidakpastian pasokan dan harga pangan internasional.

"Lonjakan harga pangan dunia di tengah ketergantungan tinggi pada impor memunculkan kerentanan yang bahkan masih terjadi pada komoditas pangan utama yaitu beras," sambung dia.

Dalam 2 dekade terakhir, sepanjang 2001-2021, harga beras impor telah melonjak dari kisaran 200 dollar AS per ton menjadi 450 dollar AS per ton. Pada rentang waktu yang sama, Indonesia tercatat beberapa kali melakukan impor beras dalam jumlah signifikan, antara lain tahun 2011 sebesar 2,8 juta ton dan 2018 sebanyak 2,3 juta ton.

"Kewaspadaan menjadi keharusan ketika produksi domestik sangat ringkih. Dalam 4 tahun terakhir, produksi beras Indonesia cenderung menurun, dari 33,9 juta ton pada 2018, menjadi 31,4 juta ton pada 2021," ujar Meli.

Baca juga: Pemerintah Ajak Swasta Terapkan Praktik Kemitraan dengan Petani

Meli menilai bahwa kasus impor bawang putih bahkan memberi indikasi bahwa harga pangan global yang murah akan menghancurkan produsen domestik. Sebelum krisis 1997, sekitar 80 persen kebutuhan nasional mampu dipenuhi produksi domestik. Harga bawang putih impor saat itu berada di kisaran 1.000 dollar AS per ton.

"Namun pasca 1997, seiring liberalisasi impor, harga bawang putih impor jatuh secara drastis di kisaran 200 dollar AS per ton hingga 2005. Seiring itu, ketergantungan pada impor bawang putih melonjak drastis dari kisaran 20 persen pada 1997 menjadi 90 persen pada 2005," paparnya.

Sejak itu, diatas kehancuran petani bawang putih domestik sekitar 95 persen kebutuhan bawang putih nasional dipenuhi dari impor. Namun, setelah produksi domestik hancur dan ketergantungan impor sangat tinggi, harga bawang putih impor terus naik secara progresif.

"Bila pada 2009 harga bawang putih impor hanya di kisaran 400 dollar AS per ton, kini pada 2021 telah menembus 1.100 dollar AS per ton. Di periode yang sama, impor bawang putih terus meningkat dari kisaran 400.000 ton pada 2009 menjadi kisaran 600.000 ton pada 2021," ucap Meli.

Ketergantungan Indonesia pada gandum pun Meli nilai, sangat mengkhawatirkan. Karena gandum sepenuhnya diimpor dan Indonesia sejak 2019, telah bertransformasi menjadi importir gandum terbesar di dunia.

Pada 1970an, impor gandum hanya di kisaran 500.000 ton, kemudian melonjak di kisaran 3 juta ton pada 1990an. Kini telah menembus 11 juta ton.

Meli menyarankan kepada pemerintah agar arah kebijakan ke depan seharusnya mempromosikan pengembangan lumbung pangan lokal, usaha pertanian berbasis keluarga, serta akses ke pangan segar dan terjangkau dengan memberi penekanan pada keterikatan desa kota untuk kelancaran arus distribusi pangan.

"Dalam kerangka kebijakan ini, mempertahankan lahan pertanian produktif dan pertanian skala kecil, terutama jawa, adalah sebuah keharusan," pungkas dia.

Baca juga: Pemerintah Berkomitmen Kembangkan Literasi Keuangan bagi Petani hingga Nelayan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com