Kondisi sebaliknya bisa berbeda untuk obligasi dengan jatuh tempo yang lebih panjang. Harga obligasi bisa naik turun menjauhi angka 100 karena situasi yang tidak pasti.
Sebagai contoh beberapa seri obligasi pemerintah dengan jatuh tempo 5 dan 10 tahun, dari awal tahun hingga pertengahan Juli harganya sudah turun sekitar 5-6 persen karena ekspektasi suku bunga akan naik.
Padahal sampai dengan Juni 2022, suku bunga BI 7 Days RR masih belum berubah sama sekali.
Pergerakan harga ini sejalan dengan teori, di mana jika suku bunga naik, maka harga obligasi turun. Sebaliknya jika suku bunga turun, harga obligasi naik.
Dalam praktik, ada sedikit penyesuaian terhadap teori itu di mana yang digunakan bukan suku bunga naik atau turun saja, tapi lebih ke “ekspektasi” suku bunga naik atau turun.
Pelaku pasar modal cenderung sudah bertindak dari jauh-jauh hari sebelum suatu berita jadi kenyataan. Sehingga hanya dengan ekspektasi saja, harga obligasi sudah mulai berubah.
Secara umum, efek inflasi tinggi adalah negatif untuk reksa dana pendapatan tetap. Mengingat harga obligasi rata-rata sudah cukup turun banyak dari awal tahun hingga ke pertengahan Juli, penurunan harga walaupun masih ada seharusnya sudah terbatas.
Di sisi lain, resesi ekonomi justru positif untuk obligasi. Berkaca pada pengalaman 2020 lalu di mana perekonomian seluruh dunia mengalami resesi akibat pandemi COVID-19, bank sentral di seluruh dunia memutuskan untuk menurunkan suku bunga.
Untuk Anda yang konservatif sehingga menjadi reksa dana pendapatan tetap sebagai portofolio utama, namun tidak nyaman karena khawatir suku bunga akan naik, bisa memilih reksa dana pendapatan tetap yang isinya lebih dominan di obligasi korporasi karena lebih tahan goncangan harga.
Bisa juga tetap masuk ke reksa dana pendapatan tetap yang portofolionya lebih dominan di obligasi pemerintah karena harganya sudah turun cukup banyak. Namun periode investasinya minimal 3 tahun dan memahami ada risiko fluktuasi harga.
Reksa dana saham
Jenis ini memiliki kebijakan minimum 80 persen di instrumen saham dan maksimal 20 persen di instrumen lainnya.
Dibandingkan deposito dan obligasi, saham lebih kompleks karena faktor yang memengaruhi pergerakan harganya amat banyak.
Mulai dari faktor yang bersifat makro seperti inflasi, suku bunga, resesi ekonomi, pajak, kuota dan tarif ekspor, sentimen investor hingga yang bersifat mikro yang mengacu pada manajemen masing-masing perusahaan menjalankan kegiatan usahanya.
Secara umum, inflasi tinggi yang disebabkan kenaikan harga komoditas memang berdampak negatif terhadap kinerja perusahaan.
Sebab dalam kondisi daya beli yang belum sepenuhnya pulih, agar penjualan masih tetap terjaga, perusahaan mungkin akan memilih mempertahankan harga sehingga keuntungan berkurang.
Namun mengingat banyaknya perusahaan yang ada di Bursa Efek Indonesia, tentu saja ada perusahaan yang tetap mampu mempertahankan margin atau bahkan meningkat apabila berorientasi ekspor atau memiliki model bisnis yang baik.
Bagaimana dengan resesi ekonomi? Resesi tentu negatif untuk ekonomi dan kinerja perusahaan.
Untunglah yang mengalami resesi itu Amerika Serikat, bukan Indonesia. Meski demikian, potensi untuk mengalami resesi ekonomi tetap ada.
Untuk Anda yang menjadikan reksa dana saham sebagai portofolio investasi utama, inflasi dan resesi memang bukan sentimen positif. Ke depan volatilitas harga juga akan masih akan tetap tinggi.