KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Bahasa Emotif

Kompas.com - 23/07/2022, 07:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


KITA
sering mendengar pernyataan, “yang penting adalah isi, bukan kemasannya”. Namun, kita tidak dapat memungkiri bahwa kemasan yang cantik dapat menaikkan nilai jual suatu produk.

Tak jarang, kita tergoda untuk membeli suatu produk, bahkan mungkin membayar lebih mahal karena kemasan yang jauh lebih cantik. Padahal, kita sadar bahwa kemasan tersebut tidak memiliki manfaat fungsional.

Demikian juga dengan komunikasi. Tersampaikannya suatu pesan tidak hanya tergantung isi beritanya, tetapi juga ditentukan cara penyampaiannya. Kesan yang diterima oleh penerima pesan setelah mendengar berita yang disampaikan, sebenarnya juga menjadi tanggung jawab pemberi pesan. Orang bisa ikut bersemangat bila pemberi pesan memberi bumbu nada semangat.

Begitu pula sebaliknya. Meski pemberi berita memberi semangat, kalau disampaikan dengan nada yang meragukan bisa membuat penerima pesan mendapat kesan berbeda. Dampak dan langkah yang diambil pun bisa berbeda dari yang diharapkan oleh pemberi pesan.

Para profesional komunikasi, seperti praktisi public relations (PR), penulis, dan pembicara seminar, menyadari bahwa the key is not what is said, but how it is said.

Namun, banyak praktisi bisnis dan politik yang sering tidak mampu memanfaatkan bobot emosi yang dapat membuat pesan lebih produktif. Kekuatan apa yang membedakan karakter-karakter pesan ini? Di sinilah, bahasa emotif berperan, ketika mengungkapkan suatu pesan dengan memberikan warna emosi yang tepat.

Bahasa emotif adalah retorika yang biasa digunakan untuk membuat ungkapan lebih berpengaruh. Ada pemilihan kata-kata, ada juga penekanan nada yang dapat membuat pendengarnya lebih tergelitik emosinya. Banyak emosi positif dapat digunakan untuk membumbui kalimat yang kita gunakan, seperti rasa gembira, bangga, berminat, berharap, atau bersyukur.

Sebaliknya, kita juga bisa membumbui kalimat-kalimat kita dengan rasa takut, tidak senang, marah, sedih, sampai membuat tersinggung. Kalimat seperti “minggu ini saya sangat sibuk” yang diucapkan dengan desah nafas penuh kekesalan akan memberi kesan berbeda dengan kalimat “minggu ini jadwal saya penuh” yang diucapkan dengan nada prihatin.

Bahasa emotif memang dapat mentransformasi kalimat dan mengarahkan penerima pesan. Pemilihan satu kata yang berkonotasi negatif ataupun positif akan membawa dampak yang berbeda.

Banyak pebisnis yang tidak mau menggunakan kata “bangkrut” atau “rugi” pada saat membicarakan keadaan perusahaannya yang sedang mengalami kesulitan. Padahal, rugi atau bangkrut sebenarnya menggambarkan realitas yang terjadi pada bisnisnya.

Memanfaatkan bahasa emotif di pekerjaan

Kita dapat menggunakan cara yang berbeda-beda mengenai pergantian jabatan dan memberikan dampak yang berbeda. Menggunakan kata “mencopot jabatan”, “digantikan oleh”, atau “diteruskan oleh” akan memberikan kesan yang berbeda meskipun mengandung pengertian yang sama.

Artinya, kita dapat menentukan apakah penerima pesan merasa positif atau membuat mereka semakin terpuruk. Apakah ketika menyampaikan kabar buruk, kita ingin agar penerima pesan ikut terjatuh bersama pesan tersebut? Atau, sebaliknya. Kita ingin agar mereka memiliki semangat untuk bangkit kembali serta lepas dari keadaan buruk yang memang sudah terjadi.

Eileen RachmanDok. EXPERD Eileen Rachman

Kita bisa saja menyampaikan berita buruk, seperti angka kematian akibat pandemi sampai sepinya bisnis yang mengancam perkembangan ekonomi. Namun, kita juga dapat mengatakan solusi yang kita pikirkan beserta konsekuensi yang mungkin menyertainya, selain sekadar menyampaikan data faktual.

Kita memang sedang mewartakan sebuah berita yang berat. Akan tetapi, tidak ada untungnya juga membuat orang lain merasa terpuruk sampai tidak memiliki energi untuk bangkit kembali, bukan?

Ketika sadar akan dampak bahasa emotif ini, kita justru bisa memperkaya khazanah kalimat yang dapat membuat orang semakin bersemangat dan terpacu untuk berusaha lebih keras.

I statement, we statement

Dalam dunia kerja ada prinsip-prinsip komunikasi bisnis yang perlu kita perhatikan. Kita perlu menyampaikan pesan dengan sistematis, padat, dan meminimalisasi kemungkinan terjadinya distorsi informasi. Untuk itu, kita perlu berlatih agar dapat membubuhkan emosi yang tepat dalam kalimat-kalimat yang digunakan.

Menyadari bahwa nada emosi dapat memiliki dampak pada penerima pesan, kita juga harus peka terhadap kebutuhan emosi dari sisi penerima pesan. Bukan dari sisi kita sebagai pemberi pesan saja. Apakah penerima akan lebih tergerak bila ia mendapatkan pesan yang bernada menggebu-gebu? Atau, justru dia akan lebih tersentuh dengan nada pesan yang lebih soft?

Kita juga perlu mewaspadai pengaruh kebiasaan dalam komunikasi yang kita lakukan. Misalnya, penggunaan kata “kami”, padahal merujuk pada diri individu yang bersangkutan.

Kita perlu lebih banyak menggunakan “i statement” ketika menunjuk pada tanggung jawab yang hendak kita emban. Namun, menggunakan “we statement” ketika membicarakan keberhasilan. Sebab, keberhasilan merupakan hasil dari sumbangsih banyak pihak yang terlibat.

Hal penting lain dalam berbahasa emotif adalah menggunakan kesempatan untuk menawarkan solusi. Orang yang sudah tergelitik emosinya akan lebih responsif. Dengan demikian, sayang sekali bila pergolakan emosi ini tidak dimanfaatkan untuk menggiring mereka agar mengambil tindakan yang dibutuhkan.

Kontrol penyaluran emosi

Dalam era teknologi sekarang, emosi memegang peranan penting dalam kehidupan kita, termasuk untuk bekerja. Emosi membutuhkan penyaluran yang baik agar individu tetap tumbuh sebagai pribadi yang sehat. Tidak bisa ditekan, apalagi disepelekan.

Kita perlu hidup bersama emosi kita dan memanfaatkannya dengan baik. Dengan menekuni keterampilan berbahasa emotif, kita dapat membuat orang lain lebih memahami perasaan kita, memotivasi orang lain, dan membangun hubungan. Bahkan, kita dapat memersuasi mereka.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com