Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gappri Tolak Rencana Revisi PP 109 Tahun 2012, Ini Alasannya

Kompas.com - 27/07/2022, 16:24 WIB
Elsa Catriana,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan menolak rencana revisi Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Ia meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) melindungi kelangsungan usaha industri hasil tembakau (IHT) legal nasional. Sebab kata dia, IHT telah berkontribusi nyata bagi penerimaan negara dan serapan tenaga kerja (padat karya).

Ia menilai adanya upaya Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menggelar uji publik terkait Perubahan PP Nomer 109 Tahun 2012 cukup mengagetkan dan terkesan dipaksakan.

Gappri dengan tegas menolak perubahan PP 109/2012. Pasalnya, kami melihat PP 109/2012 yang ada saat ini masih relevan untuk diterapkan,” ujar Henry Najoan dalam siaran persnya, Rabu (27/07/2022).

Baca juga: Petani hingga Pengusaha Tembakau Tolak Wacana Revisi PP 109 Tahun 2012

Henry Najoan beralasan, jika tujuan perubahan PP 109/2012 untuk menurunkan prevalensi perokok pada anak dan remaja dengan indikator prevalensi, seharusnya tidak perlu dilakukan mengingat data resmi pemerintah menunjukkan angka prevalensi sudah turun jauh bahkan sudah turun dari target pada 2024.

Henry Najoan menyebutkan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional KOR (SUSENAS KOR) yang menyatakan bahwa prevalensi perokok anak terus menurun. Dari 9,1 persen di tahun 2018, turun menjadi 3,87 persen di tahun 2019, turun lagi di tahun 2020 menjadi 3,81 persen, bahkan tinggal 3,69 persen di tahun 2021.

Selain itu, dokumen resmi pemerintah Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun 2023, halaman 87, menyatakan bahwa indikator kesehatan persentase merokok penduduk usia 10-18 tahun turun. Di tahun 2013 sebesar 7,2 persen, kemudian turun menjadi 3,8 persen di tahun 2020.

“Argumentasi untuk menurunkan prevalensi jumlah perokok pemula tidak memiliki dasar yang valid karena tanpa adanya revisi PP 109/2012, prevalensi perokok anak telah mengalami penurunan sebagaimana data resmi pemerintah di atas,” kata Henry Najoan.

Baca juga: Regulasi Pengendalian Rokok Direvisi, Petani Tembakau Terancam Makin Terpuruk

“Menurut hemat kami, pengendalian yang dilakukan pemerintah telah berjalan dengan baik sehingga belum diperlukan perubahan PP 109/2012,” sambung Henry Najoan.

Gappri juga menyoroti isi draf perubahan PP 109/2012 yang dinilai cenderung banyak pelarangan. Hal itu dinilai justru semakin restriktif terhadap kelangsungan iklim usaha IHT di tanah air.

“Kalau mengacu ketentuan perundang-undangan, seharusnya dititiktekankan pada pengendalian, tetapi draf yang kami terima justru banyak yang bentuknya pelarangan,” kata  Henry Najoan.

Henry Najoan membeberkan pasal-pasal dalam draf RPP yang mengganggu kelangsungan IHT, yakni Pasal 24, Pasal 25e, Pasal 25f, Pasal 27, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 40. Ia menyebut pasal-pasal tersebut mengatur larangan iklan, promosi dan sponsor produk tembakau, larangan penjualan rokok batangan, dan pengawasan yang diskriminatif dan tidak mengedepankan edukasi.

“Merujuk Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 71/PUU-XI/2013 atas Iklan dan Promosi Rokok dan Putusan MK No. 6/PUU-VII/2009 atas Perkara Permohonan Pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran memutuskan bahwa rokok adalah produk legal yang memiliki hak untuk berkomunikasi dengan konsumen dewasa melalui media iklan dan promosi,” jelas Henry Najoan.

Baca juga: Program Kemitraan Mampu Angkat Derajat Petani Tembakau

Gappri juga mengkhawatirkan pengaturan peringatan kesehatan bergambar (PHW) sebesar 90 persen. Pasalnya besarnya gambar peringatan seluas itu berpotensi menimbulkan rokok ilegal dan rokok palsu.

Henry Najoan menambahkan, kecilnya ruang untuk merek juga menyulitkan konsumen untuk mengenali produk. Ia mengatakan apabila diberlakukan, perbesaran peringatan justru bertentangan dengan hak konsumen sebagaimana Undang Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 4 bahwa hak atas kenyamanan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa.

Ketentuan tersebut juga mengabaikan merek dagang sebagaimana Undang Undang Merek No. 20 Tahun 2016 tentang Hak Kekayaan Intelektual, mengingat merek menjadi penting untuk menjaga persaingan usaha yang sehat.

“Dalam pandangan kami, saat ini dengan peringatan kesehatan bergambar (PHW) sebesar 40 persen merupakan jalan tengah yang mengakomodasi semua pihak, yakni pemerintah, pelaku usaha maupun anti tembakau,” pungkasnya.

Baca juga: Komnas Pengendalian Tembakau: Beberapa Warung Bolehkan Masyarakat Berutang Saat Beli Rokok

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com