Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gatot Rahardjo
Pengamat Penerbangan

Pengamat penerbangan dan Analis independen bisnis penerbangan nasional

Duduk Perkara Sengketa Bandara Halim Perdanakusuma

Kompas.com - 28/07/2022, 14:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Hal ini untuk mengembangkan industri penerbangan di Indonesia, mengingat Bandara Kemayoran yang ada di Jakarta Utara saat itu sudah kelebihan beban melampaui kapasitasnya. Bandara Kemayoran kemudian hanya diperuntukkan penerbangan domestik.

Kemudian pada saat Bandara Internasional Soekarno-Hatta mulai dioperasikan pada 1 Januari 1984, penerbangan sipil di Bandara Halim Perdanakusuma dipindahkan ke bandara baru tersebut.

Bandara Halim menjadi bandara untuk penerbangan sipil khusus seperti penerbangan carter, penerbangan haji dan sekolah penerbangan.

Pada tahun 2014, dengan alasan yang hampir mirip pada tahun 1974, Bandara Halim kembali dibuka untuk penerbangan sipil untuk membantu Bandara Soekarno-Hatta yang sudah mulai kewalahan menerima jumlah penumpang yang melebihi kapasitasnya.

Namun saat itu bukan hanya penerbangan internasional yang dialihkan, juga penerbangan nasional atau domestik, hingga sekarang.

Adanya bandara sipil di kawasan pangkalan udara TNI AU ini disebut sebagai bandara enclave sipil. Artinya bandara menempati area dan memanfaatkan sebagian fasilitas TNI AU dengan kepemilikan lahan tetap oleh TNI AU mewakili negara Indonesia.

Otoritas sipil

Walaupun berada di dalam area dan menggunakan fasilitas milik militer TNI AU, otoritas pengoperasian Bandara Halim Perdanakusuma tetap berada di Kementerian Perhubungan sebagai Otoritas Penerbangan Sipil.

Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Annexes Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) di mana penerbangan sipil harus dilayani oleh otoritas penerbangan sipil.

Terkait hal tersebut, pada tahun 1990, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan dan TNI AU melakukan kerjasama melalui Surat Persetujuan Bersama antara Kepala Staf TNI AU dan Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Nomor Skep/27/ IV/1990, dan Nomor Perjama/03/lll/1990 tanggal 1 Maret 1990.

Kemudian dilanjutkan dengan Surat Persetujuan Bersama antara Kepala Staf TNI AU dan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor Perjama/2A/I/1997 dan Nomor Skep/125A/I/1997 tanggal 5 Juni 1997 tentang Penggunaan Sebagian areal Tanah Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma di Jakarta untuk Penerbangan Sipil.

Silang sengketa

Gatot Rahardjo Halim Perdanakusuma
Perjanjian antara TNI AU dan Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan tersebut berakhir pada tanggal 5 Juni 2002. Artinya setelah tanggal tersebut, pengelolaan Bandara Halim boleh dilakukan oleh siapa saja.

Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 70 tahun 2001 tentang Kebandarudaraan dan PP nomor 32 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Penerbangan, di mana pengelolaan bandara di Indonesia bisa dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi.

Dengan demikian, Bandara Halim Perdanakusuma dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga, sepanjang pihak ketiga tersebut memiliki kompetensi dan kesanggupan dalam membayarkan kewajiban ke negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai aturan yang berlaku.

Dengan berakhirnya perjanjian tersebut, TNI AU dalam hal ini Induk Koperasi Angkatan Udara (Inkopau) selanjutnya membuka kesempatan kepada masyarakat dan berbagai pihak untuk mengelola bandara Halim Perdanaksuma.

Salah satu peminatnya adalah PT ATS. Setelah melalui berbagai pertimbangan, ATS diterima sebagai mitra dalam mengelola aset tanah TNI AU seluas 21 Ha yang dimanfaatkan untuk Bandara Halim Perdanakusuma dengan nota kesepakatan (MOU) yang disusun pada tahun 2004.

Mengingat aset tanah tersebut adalah aset tanah Barang MIlik Negara (BMN), maka ketika akan dimanfaatkan oleh pihak lain harus seijin dari Kementerian Keuangan.

Untuk itu ATS dan Inkopau telah mengurus perijinan secara berjenjang melalui Kemhan, Mabes TNI dan kemudian mendapat persetujuan Menteri Keuangan dengan surat Nomor S-279/MK.G/2005 tanggal 18 Mei 2005.

Inkopau dengan ATS kemudian menindaklanjuti MOU yang telah dibuat dengan penandatanganan perjanjian pada tanggal 10 Februari 2006, melalui perjanjian Nomor Sperjan/05-0303/01/Inkopau dan 001/ATS-EKS/II/2006.

Dengan demikian, ATS telah sah dan berhak untuk memanfaatkan lahan 21 Ha Bandara Halim.

Walau demikian, ATS ternyata tidak bisa segera mengelola Bandara Halim Perdanakusuma. Pasalnya, Kementerian Perhubungan, walaupun perjanjiannya dengan TNI AU telah selesai tahun 2002, kemudian menyerahkan pengelolaan Bandara Halim kepada PT. Angkasa Pura II.

Karena kondisi yang demikian, pada bulan Oktober 2010, ATS mengajukan gugatan Wanprestasi kepada AP II dan Inkopau di Pengadilan Negeri Jakarta Timur melalui perkara Nomor 492/Pdt.G/2010/PN. Jakarta Timur.

Gugatannya dikabulkan sebagian oleh hakim. Salah satu amar putusannya menghukum AP II untuk menyerahkan penguasaan dan pengelolaan lahan dan/atau apa saja yang berdiri di atas tanah kepada ATS.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com