Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gatot Rahardjo
Pengamat Penerbangan

Pengamat penerbangan dan Analis independen bisnis penerbangan nasional

Duduk Perkara Sengketa Bandara Halim Perdanakusuma

Kompas.com - 28/07/2022, 14:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BEBERAPA hari ini Bandara Halim Perdanakusuma yang berada di Jakarta Timur ramai diperbincangkan. Hal ini tak lepas dari sengketa pengelolaan bandara tersebut antara PT. Angkasa Pura (AP) II yang merupakan BUMN dan PT. Angkasa Transportindo Selaras (ATS) yang merupakan perusahaan swasta.

AP II berdalih bahwa selama ini mereka yang telah mengoperasikannya dan telah mendapatkan persetujuan dari Kementerian Perhubungan sebagai regulator penerbangan nasional.

Sedangkan PT. ATS berdalih bahwa pihaknya telah melakukan kerja sama perjanjian dengan TNI Angkatan Udara sebagai pemilik Pangkalan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma untuk mengelola sebagian areal Lanud seluas 21 hektar, termasuk Bandara Halim Perdanakusuma yang ada di areal tersebut.

Lalu bagaimana duduk perkara sebenarnya dari sengketa tersebut dan bagaimana sejarah pengelolaan Bandara Halim Perdanakusuma?

Lapangan Terbang Tjililitan

Merujuk dari buku “Sejarah Bandar Udara Di Indonesia Dari Masa Ke Masa” yang diterbitkan Kementerian Perhubungan RI tahun 2014, Bandara Halim Perdanakusuma awalnya adalah Lapangan Terbang Tjililitan yang mulai dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1920 dan mulai dioperasikan tahun 1924.

Pemerintah Hindia Belanda waktu itu memandang untuk menambah kekuatan pertahanan di Batavia yang merupakan kota pusat pemerintahan pemerintah kolonial tersebut.

Kekuatan pertahanan udara saat itu menjadi tren setelah pesawat udara berhasil dikembangkan menjadi salah satu kekuatan militer di samping kekuatan militer darat dan laut.

Setelah cari sana-sini, akhirnya dipilih sebuah kawasan di daerah Tjililitan yang saat itu masuk dalam daerah Meester Cornelis atau Jatinegara saat ini.

Daerah tersebut dipilih karena kondisi geografisnya yang sangat landai dan strategis serta dilintasi anak sungai Ciliwung.

Pembebasan lahannya juga relatif mudah karena milik pribadi pengusaha Belanda bernama Pieter Van del Velde.

Setelah terwujud, pihak yang menggunakan lapangan terbang tersebut pertama kali adalah penerbangan sipil, yaitu maskapai KNILM milik pemerintah Hindia Belanda.

Lapangan terbang Tjililitan pernah mencetak beberapa rekor penerbangan terjauh pertama, yang dicatat dalam sejarah penerbangan global.

Rekor tersebut atas nama maskapai KLM dari Belanda yang melakukan penerbangan lintas benua sejauh 14.500 km dari kota Amsterdam Belanda hingga ke Lapter Tjililitan, dengan singgah di beberapa tempat, pada tahun 1929.

Penerbangan dilakukan dengan menggunakan pesawat Fokker F.VII berisi empat orang dan memakan waktu penerbangan 10 hari.

Waktu tempuh ini kemudian diperbaiki, juga oleh KLM dengan menggunakan pesawat yang lebih besar, yaitu Douglas DC-2 berpenumpang 14 orang pada tahun 1935.

Penerbangan ini menempuh waktu 5,5 hari. Bandingkan jika perjalanan tersebut dilakukan dengan kapal penumpang, akan memakan waktu 1,5 sampai 2 bulan.

Bandara enclave sipil

Seiring berjalannya waktu dan memanasnya situasi politik global, lapangan terbang ini dipakai oleh militer baik oleh pemerintah Hindia Belanda maupun Pemerintah Jepang yang kemudian menguasainya.

Pada perang kemerdekaan, lapangan terbang ini kembali dikuasai Belanda. Kemudian setelah diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar tahun 1949, lapangan terbang diserahkan kepada Pemerintah Indonesia sebagai bentuk pengakuan Belanda terhadap kedaulatan Indonesia.

Serah terima dilakukan oleh Militaire Luchvaart (ML) Belanda kepada Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).

Pada 17 Agustus 1952, melalui Surat Keputusan KSAU nomor 76/48/PEN-2/52, pangkalan Udara Tjililitan diganti nama menjadi Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma dan menjadi keluar masuknya penerbangan tamu-tamu negara serta home base Skadron Udara 17 VVIP/ VIP.

Lanud Halim Perdanakusuma kembali melayani penerbangan sipil pada 10 Januari 1974, saat Presiden Soeharto meresmikan pembukaan Pelabuhan Udara Internasional Halim Perdanakusuma atau Jakarta International Airport Halim Perdanakusuma.

Sesuai namanya, pelabuhan udara atau bandara ini hanya melayani penerbangan sipil internasional.

Hal ini untuk mengembangkan industri penerbangan di Indonesia, mengingat Bandara Kemayoran yang ada di Jakarta Utara saat itu sudah kelebihan beban melampaui kapasitasnya. Bandara Kemayoran kemudian hanya diperuntukkan penerbangan domestik.

Kemudian pada saat Bandara Internasional Soekarno-Hatta mulai dioperasikan pada 1 Januari 1984, penerbangan sipil di Bandara Halim Perdanakusuma dipindahkan ke bandara baru tersebut.

Bandara Halim menjadi bandara untuk penerbangan sipil khusus seperti penerbangan carter, penerbangan haji dan sekolah penerbangan.

Pada tahun 2014, dengan alasan yang hampir mirip pada tahun 1974, Bandara Halim kembali dibuka untuk penerbangan sipil untuk membantu Bandara Soekarno-Hatta yang sudah mulai kewalahan menerima jumlah penumpang yang melebihi kapasitasnya.

Namun saat itu bukan hanya penerbangan internasional yang dialihkan, juga penerbangan nasional atau domestik, hingga sekarang.

Adanya bandara sipil di kawasan pangkalan udara TNI AU ini disebut sebagai bandara enclave sipil. Artinya bandara menempati area dan memanfaatkan sebagian fasilitas TNI AU dengan kepemilikan lahan tetap oleh TNI AU mewakili negara Indonesia.

Otoritas sipil

Walaupun berada di dalam area dan menggunakan fasilitas milik militer TNI AU, otoritas pengoperasian Bandara Halim Perdanakusuma tetap berada di Kementerian Perhubungan sebagai Otoritas Penerbangan Sipil.

Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Annexes Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) di mana penerbangan sipil harus dilayani oleh otoritas penerbangan sipil.

Terkait hal tersebut, pada tahun 1990, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan dan TNI AU melakukan kerjasama melalui Surat Persetujuan Bersama antara Kepala Staf TNI AU dan Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Nomor Skep/27/ IV/1990, dan Nomor Perjama/03/lll/1990 tanggal 1 Maret 1990.

Kemudian dilanjutkan dengan Surat Persetujuan Bersama antara Kepala Staf TNI AU dan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor Perjama/2A/I/1997 dan Nomor Skep/125A/I/1997 tanggal 5 Juni 1997 tentang Penggunaan Sebagian areal Tanah Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma di Jakarta untuk Penerbangan Sipil.

Silang sengketa

Gatot Rahardjo Halim Perdanakusuma
Perjanjian antara TNI AU dan Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan tersebut berakhir pada tanggal 5 Juni 2002. Artinya setelah tanggal tersebut, pengelolaan Bandara Halim boleh dilakukan oleh siapa saja.

Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 70 tahun 2001 tentang Kebandarudaraan dan PP nomor 32 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Penerbangan, di mana pengelolaan bandara di Indonesia bisa dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi.

Dengan demikian, Bandara Halim Perdanakusuma dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga, sepanjang pihak ketiga tersebut memiliki kompetensi dan kesanggupan dalam membayarkan kewajiban ke negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai aturan yang berlaku.

Dengan berakhirnya perjanjian tersebut, TNI AU dalam hal ini Induk Koperasi Angkatan Udara (Inkopau) selanjutnya membuka kesempatan kepada masyarakat dan berbagai pihak untuk mengelola bandara Halim Perdanaksuma.

Salah satu peminatnya adalah PT ATS. Setelah melalui berbagai pertimbangan, ATS diterima sebagai mitra dalam mengelola aset tanah TNI AU seluas 21 Ha yang dimanfaatkan untuk Bandara Halim Perdanakusuma dengan nota kesepakatan (MOU) yang disusun pada tahun 2004.

Mengingat aset tanah tersebut adalah aset tanah Barang MIlik Negara (BMN), maka ketika akan dimanfaatkan oleh pihak lain harus seijin dari Kementerian Keuangan.

Untuk itu ATS dan Inkopau telah mengurus perijinan secara berjenjang melalui Kemhan, Mabes TNI dan kemudian mendapat persetujuan Menteri Keuangan dengan surat Nomor S-279/MK.G/2005 tanggal 18 Mei 2005.

Inkopau dengan ATS kemudian menindaklanjuti MOU yang telah dibuat dengan penandatanganan perjanjian pada tanggal 10 Februari 2006, melalui perjanjian Nomor Sperjan/05-0303/01/Inkopau dan 001/ATS-EKS/II/2006.

Dengan demikian, ATS telah sah dan berhak untuk memanfaatkan lahan 21 Ha Bandara Halim.

Walau demikian, ATS ternyata tidak bisa segera mengelola Bandara Halim Perdanakusuma. Pasalnya, Kementerian Perhubungan, walaupun perjanjiannya dengan TNI AU telah selesai tahun 2002, kemudian menyerahkan pengelolaan Bandara Halim kepada PT. Angkasa Pura II.

Karena kondisi yang demikian, pada bulan Oktober 2010, ATS mengajukan gugatan Wanprestasi kepada AP II dan Inkopau di Pengadilan Negeri Jakarta Timur melalui perkara Nomor 492/Pdt.G/2010/PN. Jakarta Timur.

Gugatannya dikabulkan sebagian oleh hakim. Salah satu amar putusannya menghukum AP II untuk menyerahkan penguasaan dan pengelolaan lahan dan/atau apa saja yang berdiri di atas tanah kepada ATS.

AP II kemudiaan mengajukan banding, Kasasi hingga Peninjauan Kembali (PK). Namun semua seputusan hakim di setiap tingkat selalu sama, dan hingga terakhir melalui Putusan Tingkat PK Nomor 527 PK/Pdt/2015, permohonan AP II tetap ditolak.

Pada tahun 2020, terjadi pengalihan kepemilikan PT. ATS. Jika sebelumnya PT. ATS dimiliki oleh maskapai Lion Air Group, pada bulan November 2020, perusahaan ini dibeli oleh Whitesky Group, perusahaan yang juga berkecimpung dalam dunia penerbangan nasional.

Selanjutnya, pada tahun 2021, dalam rangka melaksanakan ketentuan pemanfaatan Barang Milik Negara agar sesuai aturan, maka para pihak yang melakukan perjanjian melakukan perjanjian Substitusi, di mana perjanjian pemanfaatan aset yang semula antara Inkopau dengan ATS, menjadi TNI AU dengan ATS.

Berdasarkan perjanjian substitusi tersebut, TNI AU telah memberikan peluang untuk AP II dan ATS melaksanakan melalui Kerja Sama Operasi (KSO).

Namun sampai batas waktu yang telah disepakati, yaitu akhir bulan Mei 2022 tidak kunjung dicapai kata sepakat antara AP II dan ATS.

Pada tanggal 7 Juli 2022, dilaksanakan mediasi dan rapat secara meraton AP II dan ATS terkait KSO. Namun sampai batas waktu yang disepakati, yaitu tanggal 13 Juni 2022, belum juga dicapai titik temu.

Rapat tersebut hanya menyepakati bahwa dalam waktu 7 hari setelah itu, berita acara penguasaan dan pengelolaan Bandara Halim PK harus sudah terselesaikan.

Kemudian dilakukan koordinasi, rapat-rapat lanjutan dan peninjauan lapangan secara maraton antara TNI AU, AP II dan ATS pada kurun waktu tanggal 14 sampai 21 Juli 2022.

Hingga pada tanggal 21 Juli 2022 malam, tercapai kesepakatan antara TNI AU, ATS dan AP II. Dan kemudian dilaksanakan serah terima penguasaan dan pengelolaan Bandara Halim dari PT AP II ke TNI AU selanjutnya dari TNI AU ke PT ATS melalui Berita Acara.

Bagaimana sebaiknya?

Sejak Januari 2022 lalu, Bandara dan Lanud Halim sebenarnya sedang diperbaiki fasilitas penerbangannya sehingga keselamatan, keamanan dan kenyamanan penerbangannya meningkat.

Bandara untuk sementara ditutup. Proses perbaikan itu diharapkan selesai pada akhir tahun 2022.

Saat ini kondisi penerbangan nasional sebenarnya belum sepenuhnya pulih setelah dihantam pandemi Covid-19 selama lebih dari dua tahun.

Walaupun sudah lebih meningkat dibanding pada awal pandemi, jumlah penumpang dan jumlah penerbangan pesawat di bandara belum pulih seperti tahun 2019 atau saat sebelum pandemi.

Misalnya, Bandara Soekarno-Hatta saat ini baru berperasi sekitar 40-50 persen. Akibatnya beberapa fasilitas bandara belum bisa dipergunakan lagi secara maksimal.

Misalnya saja runway 3 yang sebenarnya dipergunakan untuk menampung penambahan jumlah penerbangan, sampai saat ini belum dipergunakan lagi.

Mengingat hal tersebut, sebenarnya Bandara Halim Perdanakusuma belum terlalu mendesak untuk segera dioperasikan.

Perlu diberikan waktu yang cukup untuk menyelesaikan perbaikan dan pengembangan bandara ini, sehingga nanti pada waktu penerbangan nasional sudah kembali normal lagi seperti sebelum pandemi Covid-19, bandara ini sudah siap dioperasikan dengan tingkat keselamatan, keamanan dan pelayanan penerbangan yang lebih baik.

Namun sengketa Bandara Halim ini tetap harus segera diselesaikan agar dapat dilanjutkan perbaikan dan pengembangannya secara maksimal sesuai peruntukannya.

Ingatlah bahwa Bandara Halim Perdanakusuma sesungguhnya adalah aset negara yang harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com