Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dadang Mujiono
Akademisi FISIP Unmul/Mahasiswa S3 NUS

Dosen Hubungan Internasional Universitas Mulawarman, Samarinda

Tawaran Investasi Energi Bersih dari G7 Sulit Terwujud di Indonesia

Kompas.com - 30/07/2022, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA 27 Juni 2022, kelompok tujuh negara demokrasi kaya (G7) meluncurkan inisiatif untuk berinvestasi dalam transisi energi bersih. Inisiatif tersebut menarget India, Indonesia, dan Vietnam sebagai negara debitur.

Inisiatif itu juga bertujuan untuk memberikan alternatif pengganti investasi Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI) dari Tiongkok.

Dalam konteks geopolitik, pertanyaan penting yang bisa diajukan adalah apa motif dibalik inisiatif investasi G7 di Asia? Sedangkan dalam konteks Indonesia, apakah skema yang ditawarkan G7 dapat memikat para elite nasional dan akhirnya menggantikan posisi BRI?

Baca juga: Jokowi Tiba di Tanah Air, Ini Rangkuman Kegiatannya di Rusia, Ukraina, G7, dan UEA

Geopolitik

Dalam konteks geopolitik, investasi yang ditawarkan G7 sarat akan kepentingan Amerika Serikat (AS), tidak hanya bertujuan agar Indonesia beralih dari energi kotor ke bersih. Tawaran itu juga bertujuan agar dominasi Tiongkok di Indonesia dapat berkurang.

Berkembangnya dominasi Tiongkok di kawasan Asia, khususnya di Indonesia, merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari. Pasca berakhirnya Perang Dunia Kedua, ketika Tiongkok belum menjelma menjadi raksasa ekonomi,  AS, Jepang, Jerman, dan Inggris adalah negara-negara yang menjadi kontributor utama pembangunan di Asia, termasuk di Indonesia. Namun pasca reformasi ekonomi di era Deng Xiaoping (1978-1989) yang ditandai dengan keterbukaan ekonomi dan melesatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok, negara ini secara perlahan menggantikan peran AS dan sekutunya sebagai donatur utama pembangunan di Asia.

Dominasi Tiongkok di Asia menjadi lebih kuat lagi pasca diluncurkannya BRI di tahun 2013 – sebuah kebijakan luar negeri Tiongkok untuk mempromosikan pembangunan infrastruktur dan konektivitas perdagangan antara Tiongkok dan negara partisipan. Menurut laporan yang diterbitkan Green Finance and Development Centre, terhitung sejak diluncurkan pada 2013 sampai Maret 2022, sudah lebih dari 140 negara menandatangani MoU dengan pemerintah Tiongkok dalam skema investasi BRI.

Dominasi Tiongkok dalam sektor ekonomi juga diakui perusahaan konsultan AS, McKinsey and Company, yang menyatakan bahwa Tiongkok telah melampaui AS sebagai negara terkaya tunggal di dunia dari aspek total kekayaan bersih.

Pekerja di Provinsi Jiangsu, China, memproduksi peralatan untuk diekspor dalam rangka program Belt and Road Initiative. China disebut menggelontorkan utang dan hibah hingga Rp 12 kuadriliun ke 165 negara.Costfoto/Barcroft Media via Getty Images via BBC Indonesia Pekerja di Provinsi Jiangsu, China, memproduksi peralatan untuk diekspor dalam rangka program Belt and Road Initiative. China disebut menggelontorkan utang dan hibah hingga Rp 12 kuadriliun ke 165 negara.
G7 sulit geser BRI

Investasi BRI memiliki historis dan beriringan dengan kepentingan elite di negeri ini. Adanya tawaran investasi dari G7, menurut saya, tidak serta merta dapat menggeser atau bahkan mengganti posisi investasi BRI di Indonesia. Terdapat beberapa alasan dibalik situasi ini.

Pertama, dari pendekatan historis, investasi BRI di Indonesia hadir lebih awal sejak 2013. Empat tahun kemudian, kerja sama ini bahkan ditingkatkan menjadi kerjasama strategis komprehensif. Belum lagi kunjungan Presiden Jokowi ke Beijing pada Juli 2022 telah menghasilkan pembaruan kemitraan strategis Indonesia dan Tiongkok dalam skema pembiayaan BRI.

Baca juga: Mengupas Kerja Sama Investasi China di Indonesia

Kedua dari aspek diplomatik, investasi BRI memiliki makna khusus bagi Indonesia. Hal ini tidak lain karena Presiden Xi Jinping sendiri yang menawarkan investasi BRI secara langsung di hadapan anggota DPR-RI di Senayan ketika melakukan kunjungan diplomatik ke Indonesia tahun 2013.

Ketiga, investasi BRI tidak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, bandara, kereta api, dan bendungan. Namun juga bergerak di bidang pengembangan energi fosil dan terbarukan. Dalam pengembangan energi – investasi BRI beriringan dengan kepentingan nasional dan elite – hal ini tentu menjadi alasan tersendiri mengapa investasi BRI sangat bermakna bagi Indonesia.

Contohnya investasi Tiongkok dengan nilai lebih dari Rp 9 triliun untuk pembangunan PLTU Celukan Bawang Kabupaten Buleleng beriringan dengan kepentingan elite nasional – di mana kebutuhan batu bara untuk PLTU ini disuplai – salah satunya oleh perusahaan milik Luhut B Pandjaitan yakni PT Toba Bara Sejahtra yang beroperasi di Kalimantan Timur.

Lalu investasi Tiongkok dalam pembangunan pabrik smelter pengolahan nikel berteknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) di Pulau Obi, Halmahera Selatan untuk keperluan baterai lithium yang menelan investasi lebih dari Rp 14 triliun juga sarat akan kepentingan banyak pihak. Saking pentingnya pabrik smelter ini, melalui Keputusan Menteri ESDM No 77 tahun 2019 telah dinaikan statusnya sebagai obyek vitas nasional. Sedangkan Harita Group melalui Peraturan Presiden No.109 tahun 2020 ditetapkan sebagai pengelola Kawasan Industri Pulau Obi yang merupakan salah satu dari Proyek Strategis Nasional.

Terakhir, pembangunan smelter nikel di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan oleh Jhonlin Group dan PT CNGR asal Tiongkok juga menjadi perhatian khusus pemerintah pusat. Bahkan Presiden Jokowi secara langsung meresmikan pabrik tersebut pada Oktober 2021. Dalam pembangunan pabrik smelter ini, total investasi yang digelontorkan sebanyak Rp 6 triliun. Pendirian pabrik berada di atas lahan seluas 329 hektar milik Jhonlin Group –perusahaan yang dimiliki Samsudin Andi Arsyad atau Haji Isam yang tidak lain adalah mantan wakil bendahara Tim Kampanye Nasional Jokowi - Ma’ruf.

Investasi Tiongkok tidak seribet investasi negara Barat

Kasus ditolaknya produk olahan CPO Indonesia di pasar Uni Eropa menurut Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Vincent Piket, karena industri CPO di Indonesia telah merusak lingkungan, terdapat praktik korupsi, dan melanggar HAM. Hal ini juga yang melatarbelakangi rendahnya minat investor Uni Eropa (EU) di sektor perkebunan kelapa sawit.

Berbeda dengan EU, investor Tiongkok relatif mengesampingkan standar lingkungan, sosial, dan HAM sebagai sebagai syarat utama pinjaman. Di Indonesia, khususnya pabrik nikel di Pulau Obi terbukti telah mencemari lingkungan. Namun, Tiongkok masih terus mengimpor hasil nikel olahan dari Pulau Obi. Ini membuktikan bahwa Tiongkok tidak mempersoalkan produksi nikel yang mencemari lingkungan.

Baca juga: Banyak yang Nyinyir soal Investasi China di RI, Ini Respons Luhut

Dari sini kita bisa lihat Tiongkok tampaknya masih akan menjadi importir utama nikel Indonesia dan investor asing utama di Indonesia karena kemudahan syarat pinjaman. Mulai dari standar lingkungan yang relatif dikesampingkan, bunga pinjaman yang rendah, sampai tenor utang jangka panjang.

Sedangkan investasi negara-negara Barat dapat dipastikan memiliki syarat yang lebih ribet. Khususnya terkait aspek lingkungan. Belum lagi prinsip kebijakan luar negeri Indonesia – bebas dan aktif – menyebabkan Indonesia relatif tidak peduli mengenai persaingan hegemoni AS dan Tiongkok. Bagi Indonesia, siapa yang lebih untung, itu yang akan dikejar. Akhirnya, harapan investasi G7 sebagai alternatif menggantikan investasi BRI di Indonesia ibarat menjaring angin. Terasa ada, tertangkap tidak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com