Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyoroti Kesadaran Hak, Regulasi dan Perlindungan PMI di Jepang

Kompas.com - 31/07/2022, 17:05 WIB
Elsa Catriana,
Akhdi Martin Pratama

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Perlindungan pekerja migran Indonesia (PMI) merupakan persoalan yang perlu jadi perhatian semua pihak baik oleh pemerintah, penyalur hingga calon pekerja.

Terdapat berbagai risiko pelanggaran PMI mulai dari perizinan, pembayaran upah tidak sesuai perjanjian hingga kekerasan di tempat kerja. Melihat kondisi tersebut, penting bagi PMI untuk memahami hak, kewajiban serta regulasi yang berlaku sesuai negara penempatan.

Atas persoalan tersebut, Departemen Kajian Wilayah Jepang Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia (KWJ SKSG UI) menyelenggarakan kegiatan Pengabdian Masyarakat 2022 dengan topik "Sosialisasi Sadar Hak serta Regulasi Bagi Calon PMI dari Potensi Pelanggaran Aturan Kerja".

Baca juga: Titik Cerah Penempatan Kembali PMI ke Malaysia

Inisiator dari kegiatan ini sekaligus dosen tetap UI Kurniawaty Iskandar mengatakan, kegiatan sosialisasi ini bertujuan untuk memberi edukasi kepada calon PMI untuk memahami regulasi serta berbagai persoalan yang dialami saat bekerja di luar negeri. Sebab, Jepang merupakan salah satu negara penerima PMI tertinggi.

"Diharapkan melalui kegiatan sosialisasi ini calon PMI dapat mengetahui hak serta kewajibannya saat bekerja di negara lain," ujarnya dalam siaran persnya, Minggu (31/7/2022).

Lebih lanjut Kurniawaty membeberkan berbagai persoalan yang sering dihadapi PMI di Jepang. Diantaranya adalah tidak dibayarnya gaji walaupun sudah jatuh tempo, sebagian gaji pemagang dipaksa untuk ditabung oleh perusahan tempat kerjanya, upah yang hanya dibayar 350 yen per jam setelah bekerja lebih dari 8 jam sehari dan tidak pernah didaftarkan perusahaan untuk tes kesehatan walau sudah lama bekerja untuk perusahaan tersebut.

Kemudian persoalan lainnya adalah tidak mendapat kompensasi akibat kecelakaan saat bekerja. Lalu ada juga kasus PMI hanya dibayar 600 Yen per jam padahal upah minimum yang disepakati mencapai 1.000 Yen per jam.

Belum lagi PMI di Jepang yang tidak bisa leluasa keluar asrama dan terdapat risiko tuntutan denda 50.000 Yen jika merusak barang milik perusahaan.

Oleh sebab itu lanjut dia, tujuan utama kegiatan sosialisasi ini adalah agar PMI punya pengetahuan yangg memadai tentang bagaimana medan yang akan dihadapi dan juga sadar hak mereka sebagai pekerja agar menjadi lebih tangguh dan tidak berpotensi menjadi pekerja ilegal.

Baca juga: 1 Agustus, Indonesia Kembali Kirim TKI ke Malaysia

" Ini sejalan dengan terus meningkatnya jumlah PMI yang dikirim ke Jepang baik melalui IM japan, program IJEPA, dan juga Tokutei Ginou,” ungkap Kurniawaty.

Kurniawaty juga mengatakan, dalam kegiatan sosialisasi yang diikuti 45 peserta, para calon PMI mendapatkan materi mengenai berbagai regulasi yang mengikat seperti Undang Undang 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan UU Pelatihan Teknis Bagi Pemagang (Technical Intern Training) dan Perlindungan bagi Pemagang (Act on Proper Technical Intern Training and Protection of Technical Intern Trainees).

Selain itu, para calon PMI juga mendapatkan materi mengenai kewajiban saat penempatan seperti berusaha untuk memperoleh dan menguasai ketrampilan dan mentransferkan ketrampilan tersebut ke negara asal dengan berkonsentrasi pada pelatihan teknis yang diikuti.

Tidak kalah penting, para calon pekerja juga mendapatkan materi prosedur permohonan visa Jepang bagi calon pekerja magang (Technical Intern Training Program) serta proses pengaduan jika mendapatkan pelanggaran dari pemberi kerja.

Menanggapi permasalahan PMI ini, Sekretaris Desa Pesanggaran, Banyuwangi, Marsudi menyambut positif kegiatan sosialisasi tersebut.

Dia mengungkapkan persoalan PMI merupakan salah satu permasalahan yang menjadi perhatian khusus pemerintah daerah. Sebab, dikhawatirkan terdapat permasalahan sosial lanjutan dari tingginya PMI tersebut.

Di sisi lain, Marsudi mengungkapkan pemerintah setempat telah berupaya membentuk lembaga pemberdayaan khusus para mantan PMI agar tidak kembali bekerja di luar negeri. Selain itu, dia mengharapkan agar para mantan PMI tersebut juga berkontribusi meningkatkan perekonomian daerah pasca-bekerja di luar negeri dengan cara memberi pelatihan keterampilan kerja.

“Desa Pesanggaran ini sudah membentuk lembaga yang bertujuan memberdayakan mantan-mantan PMI di desa Pesanggaran agar tidak kembali lagi ke negara tujuan. Alasan lain, dari PMI ini diharapkan mampu memberdayakan masyarakat lain yang telah diberi fasilitas untuk pelatihan-pelatihan di masyarakat,” ungkap Marsudi.

Sementara itu, pendiri Lembaga Pelatihan Kerja (LPK), Nusantara Gakkou, Abdul Aziz mendukung kegiatan sosialisasi ini karena memberi pemahaman kepada para calon PMI sebelum bekerja di luar negeri.

Dia menyampaikan terdapat perbedaan signifikan antara Indonesia dengan Jepang dalam budaya kerja. Sehingga, edukasi mengenai hak dan kewajiban PMI sangat penting dipersiapkan sebelum keberangkatan ke luar negeri.

“Ini program pertama bagi kami. Ini merupakan bentuk sosialisasi tentang pemahaman tanggung jawab serta hak-hak yang ada di Jepang. Sosialisasi ini membantu para calon PMI mengenai persiapan sebelum berangkan ke Jepang,” ungkap Aziz.

Baca juga: Penelitian DJSN: 6,09 Juta Pekerja Migran RI Belum Terdaftar Program Jamsos PMI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kecelakaan Beruntun di GT Halim Diduga gara-gara Truk ODOL, Kemenhub Tunggu Investigasi KNKT

Kecelakaan Beruntun di GT Halim Diduga gara-gara Truk ODOL, Kemenhub Tunggu Investigasi KNKT

Whats New
Indef: Banjir Barang Impor Harga Murah Bukan Karena TikTok Shop, tapi...

Indef: Banjir Barang Impor Harga Murah Bukan Karena TikTok Shop, tapi...

Whats New
Emiten Menara TBIG Catat Pendapatan Rp 6,6 Triliun Sepanjang 2023

Emiten Menara TBIG Catat Pendapatan Rp 6,6 Triliun Sepanjang 2023

Whats New
LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

Whats New
?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

Whats New
Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com