KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant

Budaya Toksik dalam Perusahaan

Kompas.com - 06/08/2022, 08:01 WIB
Eileen Rachman dan Emilia Jakob,
Sheila Respati

Tim Redaksi

DALAM proses rekrutmen, kedua belah pihak, yaitu karyawan dan perusahaan, tentunya dapat saling menilai. Perusahaan yang merekrut akan menilai apakah si calon karyawan dapat membuat kontribusi yang signifikan hingga mampu menjadi pemimpin di masa depan.

Sebaliknya, calon karyawan juga menilai apakah perusahaan yang merekrutnya bisa menjadi tempat untuk mengembangkan talenta? Selain itu, apakah ia akan menemukan target yang ia cari bila bergabung dengan perusahaan tersebut?

Konsep employability saat ini sudah tidak lagi sekadar organisasi yang dapat menjamin hari tua. Dalam suatu pembicaraan di media sosial, ada seorang calon pekerja yang berkomentar, “Saya mau-mau saja pindah bekerja, tetapi tidak ke perusahaan yang Anda sebutkan ini. Suasana di perusahaan ini toksik.”

Pembicaraan pun berlanjut dengan tanggapan beberapa orang yang menyebutkan indikasi-indikasi perusahaan dengan budaya toksik. Beberapa di antaranya adalah terdapat praktik “silo-silo”, cari muka, dan sikut-sikutan. Mendengar hal ini kita mungkin berpikir, bukankah hampir di semua organisasi hal-hal seperti itu dapat ditemukan? Pada kondisi sejauh apa kita dapat menyebut bahwa budaya dalam perusahaan toksik?

Kata toksik berkonotasi sangat kuat dan keras. Setiap organisasi tentunya menghindari tersangkut label yang membangkitkan kesan gerah dan terasa beracun tersebut. Sebuah penelitian di Amerika yang dilakukan Massachusetts Institute of Technology (MIT) menemukan bahwa budaya toksik menjadi penyebab utama karyawan meninggalkan perusahaan.

Anda mungkin masih ingat Travis Kalanick, pemimpin Uber yang kontroversial karena melakukan beberapa tindakan tidak etis terhadap pengemudi dan karyawannya sendiri. Karena tindakannya, banyak eksekutif yang meninggalkan perusahaan dan Uber menanggung kerugian yang amat besar. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa 58 persen karyawan resign karena budaya toksik dalam perusahaan tempatnya bekerja.

Istilah “suka tidak suka, terima saja” sudah tidak bisa berlaku dalam dunia yang semakin kritis dan disruptif ini. Pilihan yang tersedia jauh lebih banyak, job hopping pun sudah dipandang sebagai hal yang lumrah saat ini.

Sebanyak 65 persen gen Z umumnya bertahan kurang dari setahun dalam sebuah organisasi. Persentase tersebut jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan gen X, baby boomers, atau bahkan milenial sekalipun. Untuk itu, organisasi perlu benar-benar mengupayakan budaya yang sehat, positif, dan terus bertumbuh.

Budaya disfungsional

Pada setiap tempat kerja, budaya disfungsional bisa muncul dalam beragam bentuk, mulai dari perundungan (bullying), koalisi yang tidak sehat, sampai praktik-praktik ketidakjujuran dan pelanggaran kode etik. Bahkan, pada masa bekerja secara virtual seperti ini pun, suasana toksik juga bisa terjadi melalui bullying dalam bentuk pesan elektronik ataupun telepon.

Banyak yang menuduh atasan sebagai penyebab toksiknya lingkungan kerja. Namun, sesungguhnya kondisi ini dapat disebabkan oleh siapa pun pada level apa pun. Memang, pemimpin yang lemah cenderung membuat budaya toksik terus berkembang karena ia tidak memiliki keberanian untuk mengakhirinya.

Bagaimana bentuk perusahaan disfungsional? Perusahaan berkinerja tinggi dan bergengsi yang bangga dengan budaya bekerja tidak kenal waktu. Tanpa sadar, perusahaan macam ini dapat membangun budaya toksik yang memeras karyawannya.

Pesan elektronik berseliweran selama 24 jam penuh, orang dituntut untuk multitasking, pimpinan yang bangga dengan proyek yang bertumpuk, karyawan sakit yang tidak berani untuk beristirahat karena khawatir performanya dinilai jelek adalah sejumlah ciri dari budaya toksik.

Eileen RachmanDok. EXPERD Eileen Rachman

Suasana toksik juga dapat terjadi karena adanya kebiasaan mencari kesalahan, menyalahkan, dan alergi terhadap kesalahan. Dalam situasi ini, tidak seorang pun mau bertanggung jawab terhadap kejadian tertentu. Meskipun, kejadian tersebut berada dalam ranahnya.

Hal tersebut dikarenakan setelah menemukan pelakunya, pembahasan biasanya berfokus pada tudingan kesalahan secara bertubi-tubi tanpa ada yang tertarik untuk membahas “what next” agar peristiwa tersebut tidak terulang kembali. Dalam budaya ini, gejala umum yang tumbuh adalah budaya “pokoknya bukan saya” sehingga tidak ada yang mau mengambil risiko.

Budaya yang penuh ancaman seperti ini bisa saja pada mulanya dimaksudkan untuk menegakkan kedisiplinan. Namun, peringatan terhadap pelanggaran yang berbentuk ancaman ekstrem akan membangun budaya penuh ketakutan. Suasana kerja berubah menjadi kasar dan karyawan menghindari tanggung jawab.

Ada juga kebiasaan dalam beberapa lembaga yang membangun kolaborasi dan preferensi dengan golongan tertentu. Bisa dari suku bangsa, agama, bahkan universitas tertentu yang membuat mereka yang di luar golongan tersebut mengalami kesulitan untuk berkembang.

Terakhir, budaya dengan pimpinan yang selalu benar. Pertanyaan dan kritik dianggap vokal dan berbahaya serta bisa membuat mereka tersingkirkan. Pemimpin dengan jelas menunjukkan preferensinya kepada mereka yang memuja-mujanya lepas dari benar ataupun salah tindakannya.

Bisakah kita bayangkan rasa aman karyawan di organisasi-organisasi seperti itu? Karyawan yang tidak mempunyai pilihan lain akan bertahan di perusahaan seperti itu dan berfokus pada keamanan pekerjaannya tanpa peduli terhadap perkembangan organisasi.

Sementara itu, karyawan yang potensial untuk mendorong kemajuan organisasi, pasti akan mencari tempat lain yang dapat memberikan kenyamanan bekerja. Bukankah ini sangat merugikan organisasi?

Tempat kerja ideal

Banyak orang, khususnya pimpinan perusahaan, merasa bahwa kultur kerja mereka baik-baik saja. Minimal kultur yang dibangun tidak sampai toksik. Namun, pada zaman ketika para milenial dan gen Z sangat kritis membandingkan nilai yang dianutnya dengan hal yang dilihat di tempat kerja, kita harus mengkaji praktik-praktik yang terjadi di organisasi. Apakah ada yang sekiranya menciutkan nyali para karyawan?

Salah satu cara untuk mencegah berkembangnya budaya toksik adalah memperkuat komunikasi organisasi. Sistem “whistleblowing” karyawan yang menjamin anonimitas dapat memberikan masukan kepada manajemen mengenai kondisi organisasi.

Perubahan dalam organisasi juga perlu dikomunikasikan dengan hati-hati dan cermat. Hal ini dapat dilakukan sambil merasakan respons karyawan terhadap perubahan tersebut dan sikap terbuka untuk membuat penyesuaian jika diperlukan setelah proses diskusi terjadi.

Orang-orang tidak meninggalkan pekerjaan, mereka meninggalkan budaya kerja yang toksik. – Dr Amina Aitsi-Selmi


Terkini Lainnya

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Earn Smart
7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

Whats New
'Regulatory Sandbox' Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

"Regulatory Sandbox" Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

Whats New
IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

Whats New
Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Whats New
Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Whats New
Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Whats New
Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Whats New
Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Whats New
Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Whats New
Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

BrandzView
Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Whats New
Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Whats New
Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Whats New
Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Spend Smart
komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com