Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Penjelasan Kemenkeu Soal Konsumsi Pemerintah yang Minus di Kuartal II-2022

Kompas.com - 09/08/2022, 19:45 WIB
Yohana Artha Uly,
Akhdi Martin Pratama

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjelaskan kondisi pertumbuhan konsumsi pemerintah yang tercatat terkontraksi -5,24 persen (year on year/yoy) pada kuartal II-2022 dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS).

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara mengatakan, penggunaan anggaran negara memiliki peran yang berbeda mengikuti kondisi perekonomian. Seperti saat ekonomi nasional terpuruk akibat Covid-19, maka konsumsi pemerintah menjadi satu-satunya sektor yang tumbuh.

Pada tahun 2020, ketika ekonomi nasional terkontraksi -2,07 persen, hanya konsumsi pemerintah yang tumbuh positif 1,76 persen. Kala itu konsumsi pemerintah menjadi penopang ekonomi nasional, yang biasanya ditopang oleh konsumsi rumah tangga.

"Kalau pada saat 2020 itu belanja pemerintah ikut negatif, maka (pertumbuhan ekonomi) kita negatifnya akan lebih dalam lagi dari -2 persen itu. Jadi pada saat itu pengeluaran pemerintah menjadi shock absorber," ujar Suahasil dalam diskusi virtual, Selasa (9/8/2022).

Baca juga: Cegah Dana Pemda Mengendap di Bank, Kemenkeu Siapkan Aturan Baru Soal Penyaluran DAU

Kini ketika ekonomi mulai pulih kembali seiring dengan terkendalinya Covid-19, pemerintah mulai mengurangi itensitasnya guna menyehatkan kembali APBN. Terlebih pemerintah harus mengembalikan defisit APBN ke posisi di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Pada 2020 defisit APBN tercatat sebesar 6,09 persen terhadap PDB, yang kemudian di 2021 menjadi sebesar 4,65 persen dari PDB. Pemerintah menargetkan pada 2022 defisit APBN kian mengecil menjadi 3,92 persen dari PDB.

Di sisi lain, bila membandingkan dengan kuartal II-2021 konsumsi pemerintah tercatat tumbuh mencapai 8,06 persen. Angka ini menunjukkan saat itu pemerintah berupaya untuk tetap mengoptimalkan APBN menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional.

Kendati demikian, pemerintah tak bisa melulu mengandalkan APBN untuk menopang perekonomian nasional, karena memiliki keterbatasan. Oleh sebab itu, pada tahun ini pemerintah berupaya untuk mulai menyehatkan lagi APBN setelah 'bekerja keras' sepanjang dua tahun terakhir.

"Saat ini kita lihat kegiatan ekonominya meningkat, jadi konsumsi (masyarakat) tumbuh luar biasa, impresif, investasi juga tumbuh positif. Maka di saat itu lah kemudian pemerintah mengurangi intensitas," kata dia.

"Bayangkan kalau tahun ini kita geber lagi (seperti tahun lalu), maka akan tambah defisitnya (APBN). Sedangkan kita kan mau kurangi defisit supaya APBN-nya kembali sehat dan bisa siap-siap lagi mengumpulkan kekuatan kalau harus menghadapi perekonomian seperti kondisi yang terjadi di 2020," lanjut Suahasil.

Pada kesempatan berbeda, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, konsumsi pemerintah memang menurun pada kuartal II-2022 berdasarkan data BPS. Hal itu dikarenakan perhitungan BPS hanya mencakup pada barang dan jasa.

Baca juga: Subsidi BBM dan Listrik Dikurangi Bertahap, Kemenkeu: Yang Mampu Tak Perlu Dapat Subsidi

Sementara belanja yang dikeluarkan pemerintah untuk dukungan bantuan sosial (bansos) ke masyarakat tidak tertangkap dalam laporan BPS.

"Belanja negara yang masuk ke kantong masyarakat, seperti PKH atau bansos itu banyak langsung ke kantong masyarakat dan tidak tercermin dalam belanja pemerintah yang diumumkan BPS, tapi tercermin di belanja total di APBN," jelas Febrio dalam media briefing BKF Kemenkeu, Senin (8/8/2022).

Belanja pemerintah yang langsung masuk ke kantong masyarakat itu, kata dia, tercermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang sebesar 5,51 persen (yoy), lebih tinggi dari kuartal sebelumnya yang tumbuh sebesar 4,34 persen (yoy).

Febrio menambahkan, data BPS yang menunjukkan pertumbuhan belanja pemerintah terkontraksi juga akibat hitungan perbandingan dasar.

Pada periode yang sama tahun lalu, belanja pemerintah cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan penangangan Covid-19 dan pengadaan vaksin. Sementara pada semester pertama tahun ini Covid-19 terkendali, sehingga kebutuhan penanganan pandemi mengalami penurunan.

"Penanganan pasien di kuartal I dan II-2021 itu berat sekali, apalagi ada varian Delta. Waktu itu bed occupancy ratio (BOR) baik di Wisma Atlet maupun rumah sakit lain mencapai 100 persen, sehingga belanja untuk pasien cukup tinggi," kata dia.

"Itu yang menyebabkan belanja pemerintah di 2021 khususnya di kuartal I dan II tinggi sekali, sedangkan di 2022 belanja penanganan pasien itu kecil karena BOR rendah, kecil sekali dibanding 2021," tutup Febrio.

Baca juga: Subsidi Jadi Andalan Pemerintah Cegah Kenaikan Harga Energi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com