Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KILAS

Permentan 10/2022 Atur Pupuk Subsidi untuk 9 Komoditas, Dosen Unsri: Saatnya Pupuk Organik Jadi Prioritas

Kompas.com - 11/08/2022, 12:39 WIB
Inang Sh ,
Mikhael Gewati

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Kementerian Pertanian (Kementan) baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian.

Permentan tersebut pun menjadi sorotan publik, karena membatasi pupuk subsidi hanya untuk sembilan komoditas utama, yakni padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu, kopi dan kakao.

Selain itu, jenis pupuk subsidi hanya difokuskan menjadi dua jenis pupuk, yakni Nitrogen (N) Fosfor (P) dan Kalium (K) dan dan Urea.

Menanggapi permentan tersebut, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya (Unsri) Mirza Antoni mengatakan, selain kedua pupuk prioritas NPK dan Urea, sebaiknya pupuk organik menjadi prioritas.

Dia menilai, pupuk organik memberikan banyak manfaat untuk tanaman dan lingkungan.

Baca juga: Pupuk Bersubsidi Difokuskan Jadi NPK dan Urea, Rektor Universitas Dwijendra: Sudah Tepat

Dia mengimbau, Indonesia tidak boleh berorientasi ke pupuk anorganik. Sebab, bahan pembuatan pupuk organik sudah pasti tersedia di dalam negeri sehingga tidak perlu untuk impor.

"Petani kita pemikirannya jika tidak urea tidak mupuk. Jadi ketergantungan pupuk kimia tinggi. Kalau secara lingkungan, apalagi green economy ke depan, harusnya pupuk organik digalakkan," jelasnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis (11/8/2022).

Mirza menambahkan, pupuk organik merupakan pupuk paling bagus karena pupuk anorganik cenderung bermasalah untuk lingkungan.

Menurutnya, petani di Indonesia harus menghilangkan ketergantungannya terhadap pupuk anorganik.

"Ada teman saya, penggerak petani di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) Sumatera Selatan (Sumsel), yang mengedukasi kelompok petani termasuk petani padi untuk membuat pupuk organik. Jadi tidak tergantung pupuk anorganik,” katanya.

Baca juga: Lewat Permentan Nomor 10 Tahun 2022, Kementan Perbaiki Tata Kelola Pupuk Bersubsidi

Dia menyebutkan, awalnya edukasi tersebut tidak banyak membuat petani tertarik. Namun, penyuluhan tentang pupuk organik tetap dilakukan sehingga bisa menjadi pengganti walau tidak sampai 100 persen.

Mirza melanjutkan, banyak opsi agar tidak mengurangi pupuk, seperti menambahkan pupuk organik dengan memberikan pengetahuan ke petani bahwa pupuk ini bagus untuk tanah dan pertanian berkelanjutan.

Dia juga mencontohkan, petani di Sumsel masih kurang menggunakan pupuk organik sehingga sosalisasi penggunaan pupuk jenis ini harus digalakkan pemerintah.

"Ada lahan di Indralaya Kabupaten Ogan Ilir Sumsel. Saya mengelola kebun sawit milik Unsri Indralaya. Saya tidak memakai pupuk anorganik, saya coba pakai pupuk organik,” katanya.

Dengan memperhatikan struktur tanahnya, hasil pemupukan tersebut membuat tanah jadi lebih baik. Sebab, banyak makhluk hidup, seperti cacing yang hidup dan membuat tanah menjadi baik dan gembur.

Baca juga: Ketahui Kelebihan dan Kekurangan Pupuk Organik

“Sedangkan jika pakai pupuk anorganik, tanah akan keras dan tidak ada makhluk hidup yang bertahan di lahan perkebunan," jelasnya.

Perhatikan biaya distribusi

Lebih lanjut, Mirza sepakat dengan prioritas pemerintah pada pupuk orea dan NPK, terlebih pemakaian berfokus pada tanaman komoditi. Namun, dia berharap, pemerintah memperhatikan biaya distribusi pupuk hingga samapai ke petani.

Selain itu, Mirza juga mengapresiasi mekanisme pengusulan alokasi pupuk bersubsidi yang dilakukan dengan menggunakan data spasial dan luas lahan dalam sistem informasi manajemen berbasis digital dan teknologi.

"Bagus itu karena tidak bisa ditipu. Bisa melihat data secara digital, foto dari satelit, bisa melihat lahan-lahan seberapa besar, tapi juga harus diverifikasi di lapangan. Jangan percaya 100 persen dengan data," jelasnya.

Baca juga: Lewat Program UPPO di Serang, SYL Ingin Petani Hasilkan Pupuk Organik secara Mandiri

Dia juga mengingatkan pemerintah terkait waktu distribusi pupuk. Menurutnya, tidak boleh terjadi keterlambatan distribusi pupuk subsidi dari jadwal pemupukan petani.

"Jadi harus tepat harga dan tepat waktu sesuai dengan kebutuhan petani. Para petani sendiri sudah membuat Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani (RDKK), sudah disampaikan petani ke pengecer, tapi saat petani butuh pupuk, mungkin di distribusi jadi masalah," tuturnya.

Mirza juga menanggapi tentang prioritas subsidi pupuk yang diatur Permentan Nomor 10 Tahun 2022, yakni dari 70 komoditis menjadi 9 komoditas.

"Bagus, tapi pangan memang komoditas yang perlu diberi subsidi, seperti padi dan jagung karena berkontribusi terhadap inflasi,” ujarnya.

Namun, dia kurang setuju untuk pemberian prioritas pada kopi dan kakao.

Baca juga: Mentan SYL Paparkan 4 Alasan Terbitnya Permentan Nomor 10 Tahun 2022

“Sepertinya tidak banyak kontribusi. Kakao dan kopi tidak terlalu prioritas. Tidak pernah kopi itu menimbulkan inflasi yang besar," jelasnya.

Mirza menilai, Kementan harusnya memprioritaskan pupuk subsidi ke banyak sektor tanaman pangan, seperti sawit. Sebab, petani sawit sekarang, khususnya yang dikelola mandiri oleh rakyat, sedang mengalami kesulitan.

"Saya mendengar dari teman-teman petani sawit yang banyak dipunyai rakyat. Harusnya 9 komoditi itu yang memberikan inflasi, yang bisa naik dan mengganggu ekonomi makro. Padahal harusnya di Sumatera, sudah banyak sawit swadaya, tidak masuk ke kebijakan ini," paparnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Pegadaian Bukukan Laba Bersih Rp 1,4 Triliun pada Kuartal I 2024

Pegadaian Bukukan Laba Bersih Rp 1,4 Triliun pada Kuartal I 2024

Whats New
Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun, Bulog Tunggu Arahan Pemerintah

Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun, Bulog Tunggu Arahan Pemerintah

Whats New
BTN Cetak Laba Bersih Rp 860 Miliar pada Kuartal I 2024

BTN Cetak Laba Bersih Rp 860 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
Bulog Siap Jadi Pembeli Gabah dari Sawah Hasil Teknologi Padi China

Bulog Siap Jadi Pembeli Gabah dari Sawah Hasil Teknologi Padi China

Whats New
Bulog Baru Serap 633.000 Ton Gabah dari Petani, Dirut: Periode Panennya Pendek

Bulog Baru Serap 633.000 Ton Gabah dari Petani, Dirut: Periode Panennya Pendek

Whats New
Dari Perayaan HUT hingga Bagi-bagi THR, Intip Kemeriahan Agenda PUBG Mobile Sepanjang Ramadhan

Dari Perayaan HUT hingga Bagi-bagi THR, Intip Kemeriahan Agenda PUBG Mobile Sepanjang Ramadhan

Rilis
INACA: Iuran Pariwisata Tambah Beban Penumpang dan Maskapai

INACA: Iuran Pariwisata Tambah Beban Penumpang dan Maskapai

Whats New
Bank DKI Sumbang Dividen Rp 326,44 Miliar ke Pemprov DKI Jakarta

Bank DKI Sumbang Dividen Rp 326,44 Miliar ke Pemprov DKI Jakarta

Whats New
OASA Bangun Pabrik Biomasa di Blora

OASA Bangun Pabrik Biomasa di Blora

Rilis
Pengumpulan Data Tersendat, BTN Belum Ambil Keputusan Akuisisi Bank Muamalat

Pengumpulan Data Tersendat, BTN Belum Ambil Keputusan Akuisisi Bank Muamalat

Whats New
Cara Hapus Daftar Transfer di Aplikasi myBCA

Cara Hapus Daftar Transfer di Aplikasi myBCA

Work Smart
INA Digital Bakal Diluncurkan, Urus KTP hingga Bayar BPJS Jadi Lebih Mudah

INA Digital Bakal Diluncurkan, Urus KTP hingga Bayar BPJS Jadi Lebih Mudah

Whats New
Suku Bunga Acuan BI Naik, Anak Buah Sri Mulyani: Memang Kondisi Global Harus Diantisipasi

Suku Bunga Acuan BI Naik, Anak Buah Sri Mulyani: Memang Kondisi Global Harus Diantisipasi

Whats New
Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal 'Jangkar' Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal "Jangkar" Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Whats New
Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com